BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyelenggaraan peradilan pidana
akan terlihat dengan bekerjanya komponen penegakan hukum yaitu,
Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, dan Lembaga Pemasyarakatan. Penyelenggaraan
peradilan tersebut, adalah merupakan suatu sistem, yaitu suatu keseluruhan
terangkai yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berhubungan secara
fungsional. Sebagai suatu sistem, komponen-komponen sistem peradilan atau
sub sistem peradilan pidana bekerja untuk mencapai tujuan peradilan pidana berdasarkan
wewenangnya masing-masing.
Menurut Mardjono Reksodiputro
salah satu tujuan sistem peradilan pidana adalah :
mengusahakan agar mereka yang
pernah melakukan tindak pidana tidak mengulangi lagi
kejahatannya. Tujuan yang diharapkan oleh sistem peradilan pidana
tersebut adalah berkaitan dengan pemidanaan. Pemidanaan dalam sistem peradilan
pidana merupakan proses paling kompleks karena melibatkan banyak orang dan
institusi yang berbeda. Di Indonesia pelaku tindak pidana yang telah
dijatuhi vonis oleh hakim berupa pidana penjara, selanjutnya vonis hakim
tersebut akan dilaksanakan oleh Jaksa. Pidana penjara ini dilaksanakan dengan
“memenjarakan seseorang dalam batas waktu tertentu sehingga ia tidak bebas
dalam melakukan aktivitasnya di masyarakat seperti
sediakalanya”. Pengertian memenjarakan ini dipahami sebagai suatu upaya
penempatan seseorang pada tempat tertutup yaitu penjara yang pada saat ini
disebut Lembaga Pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan sebagai bagian dari
sistem peradilan pidana, merupakan wadah bagi narapidana untuk menjalani masa
pidananya serta memperoleh berbagai bentuk pembinaan dan keterampilan. Melalui
pembinaan dan keterampilan ini diharapkan dapat mempercepat proses
resosialisasi narapidana. Lembaga Pemasyarakatan melalui sistem
pemasyarakatan memberikan perlakuan yang lebih manusiawi kepada narapidana
dengan pola pembinaan. Hal ini tentu saja berbeda dengan sistem sebelumnya
yaitu sistem kepenjaraan. Perlakuan terhadap narapidana pada sistem kepenjaraan
dengan penjara sebagai tempat melaksanakannya lebih menekankan kepada unsur
balas dendam serta cenderung menggunakan perlakuan yang keras dan kasar.
Beralihnya sistem kepenjaraan kepada sistem pemasyarakatan membawa perubahan
dalam bentuk perlakuan terhadap narapidana. Demikian juga halnya dengan istilah
penjara kemudian beralih menjadi Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya
disebut LAPAS. Perubahan istilah tersebut tidak hanya sekedar menghilangkan
kesan menakutkan dan adanya penyiksaan dalam sistem penjara, tetapi lebih
kepada bagaimana memberikan perlakuan yang manusiawi terhadap narapidana
tersebut.
B.Identifikasi
masalah
Dari beberapa uraian di atas saya membatasi masalah apa yang akan saya sampaikan,
yaitu :
1. Apakah lembaga Pemasyarakatan efektif di Indonesia?
2. Perlu tidak lembaga pemasyarakatan itu ada di Idonesia?
C.Tujuan
Penyusunan
Tujuan
dari penelitian makalah ini adalah untuk dapat menjelaskan, sertamenunjukkan,
mengenai:
1. Apakah lembaga Pemasyarakatan efektif di Indonesia?
2. Perlu tidak lembaga pemasyarakatan itu ada di Idonesia?
D. Metode
Pendekatan
Dalam
pendekatan makalah ini, penyusun menggunakan metode normatif yang berdasarkan
atas studi pustaka. Yaitu dengan cara membaca dan merangkumdata yang berkenaan
dengan materi yang dibahas dalam makalah ini sertamenggunkan data sekunder yang
didapatkan dari beberapa media masa baik cetak maupun elektronik
E. Sistematika Penulisan
·
Bab 1 menjelaskan tentang latar
belakang, identifikasi masalah, tujuan masalah, metode penyusunan dan metode
pendekatan, serata sistematika penulisan ini sendiri.
·
Bab 2 adalah tinajuan pustaka yang
dimana disitu dicantumkan data-data bahan studi yang digunakan untuk membuat
makalah ini
·
Bab 3 pembahasan yang menjawab
identifikasi masalah-masalah yang dipaparkan di bab 1
·
Bab 4 berisi kesimpulan dan saran
tentang makalah yang saya buat .
BAB II
TINJAAUAN
PUSTAKA PUSTAKA
Istilah
Penologi dapat ditelusuri dari kata dasar Penal dan Logos / Logi
Penal ( berasal dari bahasa perancis ) yang artinya pidana ; atau Poena ( bahasa latin ) berarti hukuman / denda ) atau Poenal / Poenalis ( menjatuhkan hukuman ) ; Sedangkan Logos / Logi berarti ilmu pengetahuan .
Penal ( berasal dari bahasa perancis ) yang artinya pidana ; atau Poena ( bahasa latin ) berarti hukuman / denda ) atau Poenal / Poenalis ( menjatuhkan hukuman ) ; Sedangkan Logos / Logi berarti ilmu pengetahuan .
B DEFINISI PENOLOGI
Pada Umumnya
, suatu defenisi diberikan oleh seseoarang / sekelompok orang sesuai dengan
cara pandang atau persepsi masing-masing . Begitu pula halnaya dengan
pengertian Penologi .
Apabila
dilihat kata-kata dasar yang membentuk istilah Penologi , secara harfiah
berarti suatu ilmu ( logos ) yang mempelajari tentang penal ( pidana )
Sebagai logi / logos ( ilmu pengetahuan ) maka pertanyannya adalah : apa yang berlaku dahulu , kini dan yang akan adatang ? Dengan demikian terlihat bahwa lingkup Penologi tidak hanya meliputi suatu negara pada kurun waktu tertentu . OLeh karena itu Penologi disebut juga sebagai poltik kriminil ( criminele politiek,control of crime ) yang tidak hanya mempelajari ketentuan yang ada dalam perundang-undangan saja dan suatu tempat / negara tertentu ,melainkan juga mempelajari masalah penal tanpa batas wilayah dan tanpa batas waktu . Penologi tidak hanya mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan pidana , tetapi juga yang di luar pidana . Selain itu penologi merupakan “anak kandung “ dari Kriminologi yang mempelajari kejahatan ( kausa , akibat dan penanggulangnnya ) secara ilmiah .
Sebagai logi / logos ( ilmu pengetahuan ) maka pertanyannya adalah : apa yang berlaku dahulu , kini dan yang akan adatang ? Dengan demikian terlihat bahwa lingkup Penologi tidak hanya meliputi suatu negara pada kurun waktu tertentu . OLeh karena itu Penologi disebut juga sebagai poltik kriminil ( criminele politiek,control of crime ) yang tidak hanya mempelajari ketentuan yang ada dalam perundang-undangan saja dan suatu tempat / negara tertentu ,melainkan juga mempelajari masalah penal tanpa batas wilayah dan tanpa batas waktu . Penologi tidak hanya mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan pidana , tetapi juga yang di luar pidana . Selain itu penologi merupakan “anak kandung “ dari Kriminologi yang mempelajari kejahatan ( kausa , akibat dan penanggulangnnya ) secara ilmiah .
Walaupun
pengertian penal dalam penology lebih luas di banding pengertian penal yang
tercakup dalam HUkum Penitensier, yang hanya meliputi pidana / hukuman terhadap
suatu tindakan tercela tertentu yang umumnya diatur menurut ketentuan
Perundang-undangan pidana , dan berlaku di suatu negara pada kurun waktu
tertentu saja , namun ada kecendrungan di kalangan para ahli hukum untuk
membatasi / focus pada jenis pidana penjara sehingga PEnologi identik dengan pemasyarakatan
.
Sehubungan
dengan hak tersebut , Soedjono Dirdjosisworo dalam tulisannya yang berjudul
Sejarah Dan Azas-azas Penologi ( Pemasyarakatan ) mendefinisikan Penologi
sebagai “ ilmu tentang kepenjaraan dan perlakuan / pembinaan narapidana “.
C. Pemasyarakatan Sebagai Disiplin Ilmu
Pemasyarakatan
atau ilmu pengetahuan tentang pembinaan narapidana merupakan ilmu yang sangat
muda sekali . Ilmu PEmasyarakatn harus terus berkembang sesuai denga
perkemangan ilmu-ilmu lain . Sebagai ilmu social , maka setiap kali akan
mengalami perkembangan searah dengan perkembangan bangsa , masyarakat dan
manusia . sebagai disiplin ilmu pengetahuan , maka pemasyarakatan mempunyai
syarat sebagai ilmu . Syarat itu adalah : Objektif , Metodik , Sistimatis dan
Universal .
Pemasyarakatan
memiliki sifat Objektif artinya ilmu Pemasyarakatn sesuai dengan objeknya ,
dalam hal ini adalah pembinaan narapidana dan narapidana itu sendiri.Objeknya
jelas , ada bias dibuktikan , dapat diamati , dapat diteliti tidak hanya
dilakukan oleh para Pembina narapidana daja , tetapi juga para pakar dari berbagai
disiplin ilmu , misalnya :
sosiolog,psikolog,kriminolog,antropolog,dolter
dan lain sebagainya . Selain itu , sebagai ilmu pengetahuan yang berkembang ,
maka ilmu pemasyarakatan mengalami banyak sekali perkembangan , baik mengenai
system , methode , pendekatan yang keseluruhannya bertujuan untuk mencari suatu
alternative yang terbaik bagi pembinaan narapidana .
Ilmu Pemasyarakatan
mempunyai sifat metodik , artinya pengetahuan diperoleh dengan menggunakan
car-cara tertentu yang teratur dan terkontrol, dengan menggungakan metode
ilmiah , pertama kali harus diadakan perumusan masalah , yaitu tentang
pertanyaan objek yang diteliti , objeknya apa , mengapa , bagaimana , batasan
permasalahan dan factor-faktor yang dipengaruhinya . Dari rumusan masalah akan
muncul hipotesis ( jawaban sementara dari rumusan masalah yang akan diuji
kebenarannya dalam observasi atau ekperimentasi )
Ilmu
Pemasyarakatn juga telah tersusun secara sistematik , artinya tersusun dalam
suatu system , teratur , berjenjeng , bertahap, tidak berdiri sendiri , saling
memperjelas sehingga antara bagian yang satu dengan bagian yang lain merupakan
satu kesatuan yang utuh
Ilmu
Pemasyarakatn mempunyai sifat yang universal artinya berlaku umum .
Pemasyarakatan tidak hanya berlaku dalam pembinaan narapidana di Indonesia saja
, tetapi dapat juga diterapkan dalam membina narapidana di tempat lain , di
negara lain di dunia , sama dengan ilmu-ilmu yang lain . Begitu pula , dapat
dikaji tidak hanya oleh seseorang atau beberapa orang saja , tetapi oleh setiap
orang yang ingin mempelajari ilmu pemasyarakatan . Dan yang tak kalah penting ,
seperti halnya ilmu pengetahuan yang lain maka ilmu pemasyarakatan memiliki
sifat yang tentatip , yakni sebelum ada kebenaran ilmu yang menolak teori atau
hipotesis tentang pemasyarakatan dianggap benar
D. Sistem Pemidanaan
Bagian terpenting dari suatu KUHP adalah stelsel pidananya karena KUHP
tanpa stelsel pidana tidak akan ada artinya. Pidana merupakan bagian
mutlah dari hukum pidana, karena pada dasarnya hukum pidana memuat dua hal,
yakni syarat – syarat untuk memungkinkan penjatuhan pidana dan
pidananya itu sendiri.
Menurut
pasal 10 KUHP, pidana dibedakan dalam pidana pokok dan pidana tambahan. Urutan
pidana dalam pasal 10 tersebut dibuat menurut beratnya pidana, dimana yang
terberat disebut terlebih dahulu.
Ada beberapa hal yag membedakan pidana pokok dari
pidana tambahan, yaitu :
a.
Pidana tambahan dapat ditambahkan pada pidana pokok dengan perkecualian
perampasan barang – barang tertentu dapat dilakukan terhadap anak yang
diserahkan kepada pemerintah tetapi hanya mengenai barang – barang yang disita.
Sehingga pidana tambahan itu ditambahkan pada tindakan, bukan pada pidana
pokok.
b.
Pidana tambahan bersifat fakultatif, artinya jika hakim yakin mengenai
tindak pidana dan kesalahan terdakwa, hakim tersebut tidak harus menjatuhkan
pidana tambahan, kecuali untuk pasal 250 bis, pasal 261 dan pasal 275 KUHP yang
bersifat imperative, sebagaimana hakim harus menjatuhkan pidana pokok bila
tindak pidana dan kesalahan terdakwa terbukti.
Dalam
penerapan perumusannya pada tiap – tiap pasal dalam KItab Undang – undang Hukum
Pidana digunakan system alternative dalam arti bila suatu tindak pidana, hakim
hanya boleh memilih salah satu saja.
Hal ini berbeda dengan system kumulatif dimana
hakim dapat memilih lebih dari satu jenis pidana. Bahkan diantara pasal – pasal
Kitab Undang – undang Hukum Pidana terdapat pasal – pasal yang hanya mengancam
secara tunggal, dalam arti terhadap pelaku tindak pidana hakim harus
menjatuhkan jenis yang diancamkan tersebut. Disini hakim sama sekali tidak
memiliki kebebasan memilih jenis pidana, tetapi hanya dapat memilih
mengenai berat ringan atau cara pelaksanaan pidana dalam batas – batas yang
ditentukan Undang – undang.
Jenis hukuman atau macam ancaman hukuman dalam
pasal 10 tersebut adalah :
a. Pidana pokok
1). Pidana mati
2). Pidana penjara
3). Pidana kurungan
4). Pidana denda
5). Pidana tutupan (terjemahan BPHN)
b. Pidana tambahan
1). Pencabutan hak – hak tertentu
2). Perampasan barang – baran tertentu
3). Pengumuman putusan hakim
a. Pidana Pokok
- Pidana Mati
Pidana ini adalah pidana terberat menurut hukum
positif kita.
Kejahatan – kejahatan yang diancam dengan hukuman
mati dalam KUHP kita misalnya :
Ø Maker
membunuh kepala negara (Pasal 140 ayat 4)
Ø Mengajak
negara asing guna menyerang Indonesia (pasal 111 ayat 2)
Ø Memberi
pertolongan kepada musuh waktu indonesia diserang (pasal 124 ayat 3)
Ø Membunuh
kepala negara sahabat (pasal 140 ayat 4)
Ø Pembunuh
dengan direncanakan terlebuh dahulu (pasal 140 ayat ayat 3 dan 340)
Ø Pencurian
dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan, pada waktu malam atau
dengan jalan membongkar dan sebagainya, yang menjadikan ada orang terluka berat
atau mati (pasal 365 ayat 4)
Ø Pembajakan
di laut, di pesisir, dipantai dan dikali sehingga ada orang mati (pasal 444)
Ø Dalam
waktu perang menganjurkan huru – hara, pemberontakan dan sebagainya antara
pekerja – pekerja dalam perusahaan pertahanan negara (pasal 124 bis).
Ø Dalam
waktu perang menipu waktu menyampaikan keperluan angkatan perang (pasal 127
ayat 129)
Ø Pe,erasan
dengan pemberatan (pasal 368 ayat 21)
BAB
III
PEMBAHASAN
A. Pembahasan Masalah
Saat ini tidak mudah untuk memaparkan kondisi hukum
di Indonesia tanpa adanya keprihatinan yang mendalam mendengar ratapan
masyarakat yang terluka oleh hukum, dan kemarahan masyarakat pada mereka yang
memanfaatkan hukum untuk mencapai tujuan mereka tanpa menggunakan hati nurani.
Dunia hukum di Indonesia tengah mendapat sorotan yang amat tajam dari seluruh
lapisan masyarakat, baik dari dalam negri maupun luar negri. Dari sekian banyak
bidang hukum, dapat dikatakan bahwa hukum pidana menempati peringkat pertama
yang bukan saja mendapat sorotan tetapi juga celaan yang luar biasa
dibandingkan dengan bidang hukum lainnya. Bidang hukum pidana merupakan bidang
hukum yang paling mudah untuk dijadikan indikator apakah reformasi hukum yang
dijalankan di Indonesia sudah berjalan dengan baik atau belum. Hukum pidana
bukan hanya berbicara tentang putusan pengadilan atas penanganan perkara
pidana, tetapi juga meliputi semua proses dan sistem peradilan pidana. Proses
peradilan berawal dari penyelidikan yang dilakukan pihak kepolisian dan
berpuncak pada penjatuhan pidana dan selanjutnya diakhiri dengan pelaksanaan
hukuman itu sendiri oleh lembaga pemasyarakatan. Semua proses pidana itulah
yang saat ini banyak mendapat sorotan dari masyarakat karena kinerjanya, atau
perilaku aparatnya yang jauh dari kebaikan. Di awal tahun 2010 ini, kita dapat
mengatakan semua institusi penegak hukum dalam proses pidana mendapat sorotan
yang tajam.
Dari kepolisian kita akan mendengar banyaknya kasus
penganiayaan dan pemerasan terhadap seorang tersangka yang dilakukan oknum
polisi pada saat proses penyidikan. Terakhir perihal kriminalisasi terhadap
pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Institusi kejaksaan juga tidak luput
dari cercaaan, dengan tidak bisa membuktikannya kesalahan seorang terdakwa di
pengadilan, bahkan terakhir muncul satu kasus dimana jaksa gagal melaksanakan
tugasnya sebagai penegak hukum yang baik setelah surat dakwaannya dinyatakan
tidak dapat diterima. Adanya surat dakwaan yang tidak dapat diterima oleh
majelis hakim, menunjukkan bahwa jaksa tersebut telah menjalankan tugasnya dengan
dengan tidak profesioanl dan bertanggung jawab. Ironisnya tidak diterimanya
surat dakwaan tersebut disebabkan karena hampir sebagian besar tanda tangan di
berita acara pemeriksaan (BAP) merupakan tanda tangan palsu. Akhirnya proses
pidana sampai di tangan hakim (pengadilan) untuk diputus apakah terdakwa
bersalah atau tidak. Hakim sebagai orang yang dianggap sebagai ujung tombak
untuk mewujudkan adanya keadilan, ternyata tidak luput juga dari cercaan
masyarakat. Banyaknya putusan yang dianggap tidak adil oleh masyarakat telah
menyebabkan adanya berbagai aksi yang merujuk pada kekecewaan pada hukum.
Banyaknya kekecewaan terhadap pengadilan (hakim) ini terkait dengan merebaknya
isu mafia peradilan yang terjadi di tubuh lembaga berlambang pengayoman tersebut.
Institusi yang seharusnya mengayomi hukum ini sempat menyeret nama pimppinan
tertingginya sebagai salah satu mafia peradilan. Meskipun kebenarannya sampai
saat ini belum terbukti, namun kasus ini menunjukkan bahwa pengadilan masuk
sebagai lembaga yang tidak dipercaya oleh masyarakat. Jika kita sudah tidak
percaya lagi pada pengadilan, pada institusi mana lagi kita akan meminta
keadilan di negri ini?
Mafia peradilan ternyata tidak hanya menyeret nama
hakim semata, tetapi justru sudah merebak sampai pegawai-pegawainya. Panitera
pengadilan yang tugasnya tidak memutus perkara ternyata juga tidak luput dari
jerat mafia suap. Bahkan kasus suap ini telah menyeret beberapa nama sampai ke
pengadilan. Ironisnya mafia ini juga sampai ke tangan para wakil rakyat yang ada
di kursi pemerintahan. Sungguh ironis sekali kenyataan yang kita lihat sampai
hari ini, yang semakin membuat bopeng wajah hukum Indonesia.
Uraian di atas menunjukkan betapa rusaknya hukum di
Indonesia. Mungkin yang tidak mendapat sorotan adalah lembaga pemasyarakatan
karena tidak banyak orang yang mengamatinya. Tetapi lembaga ini sebenarnya juga
tidak dapat dikatakan sempurna. Lembaga yang seharusnya berperan dalam
memulihkan sifat para warga binaan (terpidana) ternyata tidak dapat menjalankan
tugasnya dengan baik. Jumlah narapidana yang melebihi dua kali lipat dari
kapasitasnya menjadikan nasib narapidana juga semakin buruk. Mereka tidak
tambah sadar, tetapi justru belajar melakukan tindak pidana baru setelah
berkenalan dengan narapidana lainnya. Tentunya ini jauh dari konsep pemidanaan
yang sesungguhnya bertujuan untuk merehabilitasi terpidana. Bahkan fakta yang
ada hari ini, beberapa narapidana dengan leluasanya membuat “aturan” sendiri
dengan merubah hotel prodeo tersebut menjadi hotel bak bintang lima.
Keprihatinan yang mendalam tentunya melihat
reformasi hukum yang masih berjalan lambat dan belum memberikan rasa keadilan
bagi masyarakat. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pada dasarnya apa
yang terjadi akhir-akhir ini merupakan ketiadaan keadilan yang dipersepsi
masyarakat (the absence of justice). Ketiadaan keadilan ini merupakan akibat
dari pengabaian hukum (diregardling the law), ketidakhormatan pada hukum
(disrespecting the law), ketidakpercayaan pada hukum (distrusting the law)
serta adanya penyalahgunaan hukum (misuse of the law). Sejumlah masalah yang
layak dicatat berkenaan dengan bidang hukum antara lain:
1. Sistem peradilan yang
dipandang kurang independen dan imparsial
2. Belum memadainya
perangkat hukum yang mencerminkan keadilan social
3. Inkonsistensi dalam
penegakan hukum
4. Masih adanya intervensi
terhadap hukum
5. Lemahnya perlindungan
hukum terhadap masyarakat
6. Rendahnya kontrol secara
komprehensif terhadap penegakan hukum
7. Belum meratanya tingkat
keprofesionalan para penegak hukum
8. Proses pembentukan hukum
yang lebih merupakan power game yang mengacu pada kepentingan the powerfull
daripada the needy (Kebutuhan)
Selain lembaga-lembaga yang telahh disebut di atas
masih ada lembaga lain yang terkait dengan penegakan hokum di Indonesia yaitu
Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga Negara yang
melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hokum dan keadilan. Keberadaan MK yang didasarkan pada UU 24
tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi menjadi salah satu control atas peran
DPR yag berperan sebagai lembaga legislative. Mekanisme control ini diwujudkan
dengan kewenangannya untuk melakukan uji materil atas Undang-Undang yang dibuat
oleh DPR. Seperti telah disebut di atas bahwa ada kalanya pembuatan
Undang-Undang yang ada di Indonesia tidak dilakukan dalam rangka mewujudkan
keadilan, sehingga perlu adanya suatu kontrol untuk menilai apakah
Undang-Undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Sampai hari ini kiranya MK
telah menjalankan tugasnya dengan baik sebagai garda penjaga konstitusi.
Sebagai penafsir konstitusi yang tertinggi, apapun yang diputuskan oleh MK
memang harus diikuti, terlepas dari perdebatan yang ada di MK dalam menilai suatu
perkara. Dalam tugas lain juga saya menilai MK dapat berperan dengan baik, ini
karena tugas MK yang senantiasa terkait dengan penafsiran terhadap UUD 1945 dan
selama ini senantiasa berpegang teguh pada pendiriannya tanpa terpengaruh oleh
pihak lain. Hal yang perlu diperbaiki dalam kaitannya dengan MK adalah terkait
dengan hukum acara MK. Yang belum jelas. Artinya perlu diabuatkan suatu UU yang
mengatur tata cara berperkara di MK, mengingat selama ini pengaturannya masih
menggunakan pedoman dari MK
Konsep Reformasi Hukum[12]
Setelah melihat kondisi hukum yang terpuruk
tersebut maka tidak ada kata lain selain terus mengedepankan reformasi hukum
yang telah digagas oleh bangsa ini. Kegiatan reformasi Hukum perlu dilakukan
dalam rangka mencapai supremasi hukum yang berkeadilan. Beberapa konsep yang
perlu diwujudkan antara lain:
1.
Penggunaan hukum yang
berkeadilan sebagai landasan pengambilan keputusan oleh aparatur negara.
2.
Adanya lembaga
pengadilan yang independen, bebas dan tidak memihak.
3.
Aparatur penegak
hukum yang professional
4.
Penegakan hukum yang
berdasarkan prinsip keadilan
5.
Pemajuan dan
perlindungan HAM
6.
Partisipasi publik
7.
Mekanisme control
yang efektif.
Pada dasarnya reformasi hukum harus menyentuh tiga
komponen hukum yang disampaikan oleh Lawrence Friedman yang meliputi:
1. Struktur Hukum, dalam
pengertian bahwa struktur hukum merupakan pranata hukum yang menopang sistem
hukum itu sendiri, yang terdiri atas bentuk hukum, lembaga-lembaga hukum,
perangkat hukum, dan proses serta kinerja mereka.
2. Substansi Hukum, dimana
merupakan isi dari hukum itu sendiri, artinya isi hukum tersebut harus
merupakan sesuatu yang bertujuan untukmenciptakan keadilan dan dapat diterapkan
dalam masyarakat.
3. Budaya Hukum, hal ini
terkait dengan profesionalisme para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya,
dan tentunya kesadaran masyarakat dalam menaati hukum itu sendiri.
Kiranya dalam rangka melakukan reformasi hukum
tersebut ada beberapa hal yang harus dilakukan antara lain:
1.
Penataan kembali
struktur dan lembaga-lembaga hukum yang ada termasuk sumber daya manusianya
yang berkualitas;
2.
Perumusan kembali
hukum yang berkeadilan;
3.
Peningkatan
penegakkan hukum dengan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hukum;
4.
Pengikutsertaan
rakyat dalam penegakkan hukum;
5.
Pendidikan publik
untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap hukum; dan
6.
Penerapan konsep Good
Governance.
7.
Menteri Hukum dan HAM
RI Amir Syamsuddin merampungkan serangkaian kunjungannya ke beberapa Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia. Hasil kunjugannya, Lapas di Indonesia
masih memiliki banyak kekurangan. "Iya benar, masih ada kekurangan,"
ujar Amir di Gedung KemenkumHAM, Jakarta[13]. Salah satunya, kata Amir, Lapas belum
bisa memberikan perlindungan secara maksimal kepada narapidana yang masih di
bawah umur (narapidana anak) . Selain itu, lapas masih mencampur adukkan
pengedar dengan pengguna narkoba dalam satu blok atau sel tahanan.
8.
Kasus yang terjadi
akhir-akhir ini, telah memberikan gambaran wajah dari lembaga pemasyarakatan
Indonesia. Bayak kekurangan dan kelemahan-kelemahan yang dinilai telah
menjelaskan bahwa mutu dari sistem hukum kita masih dipertanyakan. Kasus Ayin
misalnya, telah memberukan tanggapan buruk masyarakat trhadap sisteh hukum
kita. Seharusnya, narapidana yang telah banyak merugikan negara seperti ayin,
malah diberikan fasilitas yang sangat mewah. Siapa yang dapat dipersalahkan
seperti pada kasus ini, semua pihak seakan-akan tidak dapat menjelaskannya.
Selain pencegahan, pengejaran dan pengusutan
kasus-kasus korupsi, pemerintah harus terus berusaha mengejar aset dan
memulihkan kerugian negara. Disamping itu, pemerintah juga harus tetap
melanjutkan upaya serupa untuk mengatasi aksi terorisme dan bahaya lainnya yang
dapat memecahbelah keutuhan NKRI serta mencegah berkembangnya radikalisme dan
juga meningkatkan pemberantasan segala kegiatan ilegal, mulai dari penebangan
liar (illegal Logging), penangkapan ikan liar (illegal fishing) hingga
penambangan liar (illegal mining), baik yang lokal maupun yang transnasional.
Dari semua itu kiranya korupsi yang akan menjadi sebuah bahaya laten harus
menjadi prioritas utama untuk diberantas. Melihat kenyataan, bahwa penegakan
hukum di Indonesia tidak akan mengalami kemajuan yang begitu pesat, tetapi
kemajuan itu akan tetap ada. Hal ini terlihat dari komitmen pemerintah untuk
mewujudkan penegakkan hukum dengan didukung oleh aparat penegak hukum lainnya.
Kasus mafia peradilan yang akhir-akhir ini banyak disorot masyarakat akan
menjadikan penegak hukum lebih berhati-hati dalam menjalankan tugasnya.
Meskipun saat ini kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum masih
sangat rendah. Keberanian lembaga-lembaga hukum bangsa ini akan menjadi titik
cerah bagi penegakan hukum. Namun selain itu kesadaran masyarakat dalam menaati
hukum akan menjadi hal yang mempengaruhi penegakkan hukum di Indonesia. Karena
lemahnya penegakan hukum selama ini juga akibat masyarakat yang kurang menaati
hukum. Kita berharap, sistem hukum kita akan semakin berkembang dengan baik
sejalan dengan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas
maka penulis dapat memperoleh kesimpulan sebagai berikut
Apabila ditinjau melalui tujuan
didirikan Lembaga Pemasyarakatan, proses pembinaan yang seharusnya diberikan
kepada narapidana belum dapat berjalan. Hal ini disebabkan karena sarana dan
prasarana Lembaga Pemasyarakatan yang belum dapat mengakomodir konsep Lembaga
Pemasyarakatan sebagai wadah pembinaan narapidana. Selain itu beberapa faktor
non-teknis seperti : paradigma tentang narapidana dan wujud pembinaan yang
belum sempurna turut memperburuk kondisi pembinaan di pemasyarakatan.
B. Saran
Melihat fenomena pemasyarakatan
yang ada cukup memprihatinkan, beberapa hal yang ingin penulis sampaikan adalah
:
1.
Adanya
koordinasi terkait antara pihak kepolisian, kejaksaan, pegawai pemasyarakatan,
serta masyarakat dalam membina pelaku kejahatan.
2.
Pengadaan
sarana dan prasarana yang mendukung proses pembinaan narapidana dalam
pemasyarakatan, selain itu diperlukan sistem yang berorientasi pada nasib
narapidana ketika bebas dan kembali lagi dalam masyarakat.
3.
Pemerintah
melalui kekuasaannya diharapkan dapat mengubah paradigma tentang pelaku
kejahatan.
DAFTAR PUSTAKA
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan
Pidana (Criminal Justice System) : Perspektif
Eksistensialisme Dan Abolisionisme, Jakarta : Bina Cipta, hal.15 Dikutip dari Mardjono Reksodiputro, 1994,
Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana :
Kumpulam Karangan Buku Ketiga, Pusat Pelayanan
Keadilan dan Pengabdian Hukum-Universitas
Indonesia, hal. 84-85.
Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi Dalam
Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track
System&Implementasinya, Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada, hal.114.
Yesmil Anwar dan Adang, 2008, Pembaruan
Hukum Pidana : Reformasi Hukum, Jakarta :PT.Gramedia Widiasarana Indonesia,
hal.125.
Djisman Samosir, 1992, Fungsi Pidana
Penjara Dalam Sistem Pemidanaan Di Indonesia, Bandung. Bina Cipta, hal.82
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan
Pidana (Criminal Justice System) : Perspektif
Eksistensialisme Dan Abolisionisme, Jakarta : Bina Cipta, hal.15 Dikutip dari Mardjono Reksodiputro, 1994,PENOLOGI
0 komentar:
Posting Komentar