MAKALAH PENOLOGI

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Penyelenggaraan peradilan pidana akan terlihat dengan bekerjanya komponen penegakan hukum yaitu, Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, dan Lembaga Pemasyarakatan. Penyelenggaraan peradilan tersebut, adalah merupakan suatu sistem, yaitu suatu keseluruhan terangkai yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berhubungan secara fungsional. Sebagai suatu sistem, komponen-komponen sistem peradilan atau sub sistem peradilan pidana bekerja untuk mencapai tujuan peradilan pidana berdasarkan wewenangnya masing-masing.
Menurut Mardjono Reksodiputro salah satu tujuan sistem peradilan pidana adalah :
mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan tindak pidana tidak mengulangi lagi kejahatannya.  Tujuan yang diharapkan oleh sistem peradilan pidana tersebut adalah berkaitan dengan pemidanaan. Pemidanaan dalam sistem peradilan pidana merupakan proses paling kompleks karena melibatkan banyak orang dan institusi yang berbeda. Di Indonesia pelaku tindak pidana yang telah dijatuhi vonis oleh hakim berupa pidana penjara, selanjutnya vonis hakim tersebut akan dilaksanakan oleh Jaksa. Pidana penjara ini dilaksanakan dengan “memenjarakan seseorang dalam batas waktu tertentu sehingga ia tidak bebas dalam melakukan aktivitasnya di masyarakat seperti sediakalanya”. Pengertian memenjarakan ini dipahami sebagai suatu upaya penempatan seseorang pada tempat tertutup yaitu penjara yang pada saat ini disebut Lembaga Pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana, merupakan wadah bagi narapidana untuk menjalani masa pidananya serta memperoleh berbagai bentuk pembinaan dan keterampilan. Melalui pembinaan dan keterampilan ini diharapkan dapat mempercepat proses resosialisasi narapidana. Lembaga Pemasyarakatan melalui sistem pemasyarakatan memberikan perlakuan yang lebih manusiawi kepada narapidana dengan pola pembinaan. Hal ini tentu saja berbeda dengan sistem sebelumnya yaitu sistem kepenjaraan. Perlakuan terhadap narapidana pada sistem kepenjaraan dengan penjara sebagai tempat melaksanakannya lebih menekankan kepada unsur balas dendam serta cenderung menggunakan perlakuan yang keras dan kasar. Beralihnya sistem kepenjaraan kepada sistem pemasyarakatan membawa perubahan dalam bentuk perlakuan terhadap narapidana. Demikian juga halnya dengan istilah penjara kemudian beralih menjadi Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS. Perubahan istilah tersebut tidak hanya sekedar menghilangkan kesan menakutkan dan adanya penyiksaan dalam sistem penjara, tetapi lebih kepada bagaimana memberikan perlakuan yang manusiawi terhadap narapidana tersebut.
B.Identifikasi masalah
 Dari beberapa uraian di atas saya membatasi masalah apa yang akan saya sampaikan, yaitu :
1. Apakah lembaga Pemasyarakatan efektif di Indonesia?
2. Perlu tidak lembaga pemasyarakatan itu ada di Idonesia?
C.Tujuan Penyusunan
Tujuan dari penelitian makalah ini adalah untuk dapat menjelaskan, sertamenunjukkan, mengenai:
1. Apakah lembaga Pemasyarakatan efektif di Indonesia?
2. Perlu tidak lembaga pemasyarakatan itu ada di Idonesia?

D. Metode Pendekatan
Dalam pendekatan makalah ini, penyusun menggunakan metode normatif yang berdasarkan atas studi pustaka. Yaitu dengan cara membaca dan merangkumdata yang berkenaan dengan materi yang dibahas dalam makalah ini sertamenggunkan data sekunder yang didapatkan dari beberapa media masa baik cetak maupun elektronik

E. Sistematika Penulisan
·         Bab 1 menjelaskan tentang latar belakang, identifikasi masalah, tujuan masalah, metode penyusunan dan metode pendekatan, serata sistematika penulisan ini sendiri.
·         Bab 2 adalah tinajuan pustaka yang dimana disitu dicantumkan data-data bahan studi yang digunakan untuk membuat makalah ini
·         Bab 3 pembahasan yang menjawab identifikasi masalah-masalah yang dipaparkan di bab 1
·         Bab 4 berisi kesimpulan dan saran tentang makalah yang saya buat .












BAB II
TINJAAUAN PUSTAKA PUSTAKA

Istilah Penologi dapat ditelusuri dari kata dasar Penal dan Logos / Logi
Penal ( berasal dari bahasa perancis ) yang artinya pidana ; atau Poena ( bahasa latin ) berarti hukuman / denda ) atau Poenal / Poenalis ( menjatuhkan hukuman ) ; Sedangkan Logos / Logi berarti ilmu pengetahuan .

B DEFINISI PENOLOGI
Pada Umumnya , suatu defenisi diberikan oleh seseoarang / sekelompok orang sesuai dengan cara pandang atau persepsi masing-masing . Begitu pula halnaya dengan pengertian Penologi .
Apabila dilihat kata-kata dasar yang membentuk istilah Penologi , secara harfiah berarti suatu ilmu ( logos ) yang mempelajari tentang penal ( pidana )
Sebagai logi / logos ( ilmu pengetahuan ) maka pertanyannya adalah : apa yang berlaku dahulu , kini dan yang akan adatang ? Dengan demikian terlihat bahwa lingkup Penologi tidak hanya meliputi suatu negara pada kurun waktu tertentu . OLeh karena itu Penologi disebut juga sebagai poltik kriminil ( criminele politiek,control of crime ) yang tidak hanya mempelajari ketentuan yang ada dalam perundang-undangan saja dan suatu tempat / negara tertentu ,melainkan juga mempelajari masalah penal tanpa batas wilayah dan tanpa batas waktu . Penologi tidak hanya mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan pidana , tetapi juga yang di luar pidana . Selain itu penologi merupakan “anak kandung “ dari Kriminologi yang mempelajari kejahatan ( kausa , akibat dan penanggulangnnya ) secara ilmiah .
Walaupun pengertian penal dalam penology lebih luas di banding pengertian penal yang tercakup dalam HUkum Penitensier, yang hanya meliputi pidana / hukuman terhadap suatu tindakan tercela tertentu yang umumnya diatur menurut ketentuan Perundang-undangan pidana , dan berlaku di suatu negara pada kurun waktu tertentu saja , namun ada kecendrungan di kalangan para ahli hukum untuk membatasi / focus pada jenis pidana penjara sehingga PEnologi identik dengan pemasyarakatan .
Sehubungan dengan hak tersebut , Soedjono Dirdjosisworo dalam tulisannya yang berjudul Sejarah Dan Azas-azas Penologi ( Pemasyarakatan ) mendefinisikan Penologi sebagai “ ilmu tentang kepenjaraan dan perlakuan / pembinaan narapidana “.

C. Pemasyarakatan Sebagai Disiplin Ilmu
Pemasyarakatan atau ilmu pengetahuan tentang pembinaan narapidana merupakan ilmu yang sangat muda sekali . Ilmu PEmasyarakatn harus terus berkembang sesuai denga perkemangan ilmu-ilmu lain . Sebagai ilmu social , maka setiap kali akan mengalami perkembangan searah dengan perkembangan bangsa , masyarakat dan manusia . sebagai disiplin ilmu pengetahuan , maka pemasyarakatan mempunyai syarat sebagai ilmu . Syarat itu adalah : Objektif , Metodik , Sistimatis dan Universal .
Pemasyarakatan memiliki sifat Objektif artinya ilmu Pemasyarakatn sesuai dengan objeknya , dalam hal ini adalah pembinaan narapidana dan narapidana itu sendiri.Objeknya jelas , ada bias dibuktikan , dapat diamati , dapat diteliti tidak hanya dilakukan oleh para Pembina narapidana daja , tetapi juga para pakar dari berbagai disiplin ilmu , misalnya :
sosiolog,psikolog,kriminolog,antropolog,dolter dan lain sebagainya . Selain itu , sebagai ilmu pengetahuan yang berkembang , maka ilmu pemasyarakatan mengalami banyak sekali perkembangan , baik mengenai system , methode , pendekatan yang keseluruhannya bertujuan untuk mencari suatu alternative yang terbaik bagi pembinaan narapidana .
Ilmu Pemasyarakatan mempunyai sifat metodik , artinya pengetahuan diperoleh dengan menggunakan car-cara tertentu yang teratur dan terkontrol, dengan menggungakan metode ilmiah , pertama kali harus diadakan perumusan masalah , yaitu tentang pertanyaan objek yang diteliti , objeknya apa , mengapa , bagaimana , batasan permasalahan dan factor-faktor yang dipengaruhinya . Dari rumusan masalah akan muncul hipotesis ( jawaban sementara dari rumusan masalah yang akan diuji kebenarannya dalam observasi atau ekperimentasi )
Ilmu Pemasyarakatn juga telah tersusun secara sistematik , artinya tersusun dalam suatu system , teratur , berjenjeng , bertahap, tidak berdiri sendiri , saling memperjelas sehingga antara bagian yang satu dengan bagian yang lain merupakan satu kesatuan yang utuh
Ilmu Pemasyarakatn mempunyai sifat yang universal artinya berlaku umum . Pemasyarakatan tidak hanya berlaku dalam pembinaan narapidana di Indonesia saja , tetapi dapat juga diterapkan dalam membina narapidana di tempat lain , di negara lain di dunia , sama dengan ilmu-ilmu yang lain . Begitu pula , dapat dikaji tidak hanya oleh seseorang atau beberapa orang saja , tetapi oleh setiap orang yang ingin mempelajari ilmu pemasyarakatan . Dan yang tak kalah penting , seperti halnya ilmu pengetahuan yang lain maka ilmu pemasyarakatan memiliki sifat yang tentatip , yakni sebelum ada kebenaran ilmu yang menolak teori atau hipotesis tentang pemasyarakatan dianggap benar

D. Sistem Pemidanaan
Bagian terpenting dari suatu KUHP adalah stelsel pidananya karena KUHP tanpa stelsel pidana tidak akan ada artinya. Pidana  merupakan bagian mutlah dari hukum pidana, karena pada dasarnya hukum pidana memuat dua hal, yakni  syarat – syarat untuk memungkinkan penjatuhan pidana dan pidananya itu sendiri.
Menurut pasal 10 KUHP, pidana dibedakan dalam pidana pokok dan pidana tambahan. Urutan pidana dalam pasal 10 tersebut dibuat menurut beratnya pidana, dimana yang terberat disebut terlebih dahulu.
Ada beberapa hal yag membedakan pidana pokok dari pidana tambahan, yaitu :
a.          Pidana tambahan dapat ditambahkan pada pidana pokok dengan perkecualian perampasan barang – barang tertentu dapat dilakukan terhadap anak yang diserahkan kepada pemerintah tetapi hanya mengenai barang – barang yang disita. Sehingga pidana tambahan itu ditambahkan pada tindakan, bukan pada pidana pokok.
b.         Pidana tambahan bersifat fakultatif, artinya jika hakim yakin mengenai tindak pidana dan kesalahan terdakwa, hakim tersebut tidak harus menjatuhkan pidana tambahan, kecuali untuk pasal 250 bis, pasal 261 dan pasal 275 KUHP yang bersifat imperative, sebagaimana hakim harus menjatuhkan pidana pokok bila tindak pidana dan kesalahan terdakwa terbukti.

Dalam penerapan perumusannya pada tiap – tiap pasal dalam KItab Undang – undang Hukum Pidana digunakan system alternative dalam arti bila suatu tindak pidana, hakim hanya boleh memilih salah satu saja.
Hal ini berbeda dengan system kumulatif dimana hakim dapat memilih lebih dari satu jenis pidana. Bahkan diantara pasal – pasal Kitab Undang – undang Hukum Pidana terdapat pasal – pasal yang hanya mengancam secara tunggal, dalam arti terhadap pelaku tindak pidana hakim harus menjatuhkan jenis yang diancamkan tersebut. Disini hakim sama sekali tidak memiliki kebebasan memilih  jenis pidana, tetapi hanya dapat memilih mengenai berat ringan atau cara pelaksanaan pidana dalam batas – batas yang ditentukan Undang – undang.
Jenis hukuman atau macam ancaman hukuman dalam pasal 10 tersebut adalah :

a. Pidana pokok
1). Pidana mati
2). Pidana penjara
3). Pidana kurungan
4). Pidana denda
5). Pidana tutupan (terjemahan BPHN)
b. Pidana tambahan
1). Pencabutan hak – hak tertentu
2). Perampasan barang – baran tertentu
3). Pengumuman putusan hakim

a. Pidana Pokok
- Pidana Mati
Pidana ini adalah pidana terberat menurut hukum positif kita.
Kejahatan – kejahatan yang diancam dengan hukuman mati dalam KUHP kita misalnya :
Ø  Maker membunuh kepala negara (Pasal 140 ayat 4)
Ø  Mengajak negara asing guna menyerang Indonesia (pasal 111 ayat 2)
Ø  Memberi pertolongan kepada musuh waktu indonesia diserang (pasal 124 ayat 3)
Ø  Membunuh kepala negara sahabat (pasal 140 ayat 4)
Ø  Pembunuh dengan direncanakan terlebuh dahulu (pasal 140 ayat ayat 3 dan 340)
Ø  Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan, pada waktu malam atau dengan jalan membongkar dan sebagainya, yang menjadikan ada orang terluka berat atau mati (pasal 365 ayat 4)
Ø  Pembajakan di laut, di pesisir, dipantai dan dikali sehingga ada orang mati (pasal 444)
Ø  Dalam waktu perang menganjurkan huru – hara, pemberontakan dan sebagainya antara pekerja – pekerja dalam perusahaan pertahanan negara (pasal 124 bis).
Ø  Dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan keperluan angkatan perang (pasal 127 ayat 129)
Ø  Pe,erasan dengan pemberatan (pasal 368 ayat 21)




















BAB III
PEMBAHASAN
A. Pembahasan Masalah
Saat ini tidak mudah untuk memaparkan kondisi hukum di Indonesia tanpa adanya keprihatinan yang mendalam mendengar ratapan masyarakat yang terluka oleh hukum, dan kemarahan masyarakat pada mereka yang memanfaatkan hukum untuk mencapai tujuan mereka tanpa menggunakan hati nurani. Dunia hukum di Indonesia tengah mendapat sorotan yang amat tajam dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari dalam negri maupun luar negri. Dari sekian banyak bidang hukum, dapat dikatakan bahwa hukum pidana menempati peringkat pertama yang bukan saja mendapat sorotan tetapi juga celaan yang luar biasa dibandingkan dengan bidang hukum lainnya. Bidang hukum pidana merupakan bidang hukum yang paling mudah untuk dijadikan indikator apakah reformasi hukum yang dijalankan di Indonesia sudah berjalan dengan baik atau belum. Hukum pidana bukan hanya berbicara tentang putusan pengadilan atas penanganan perkara pidana, tetapi juga meliputi semua proses dan sistem peradilan pidana. Proses peradilan berawal dari penyelidikan yang dilakukan pihak kepolisian dan berpuncak pada penjatuhan pidana dan selanjutnya diakhiri dengan pelaksanaan hukuman itu sendiri oleh lembaga pemasyarakatan. Semua proses pidana itulah yang saat ini banyak mendapat sorotan dari masyarakat karena kinerjanya, atau perilaku aparatnya yang jauh dari kebaikan. Di awal tahun 2010 ini, kita dapat mengatakan semua institusi penegak hukum dalam proses pidana mendapat sorotan yang tajam.
Dari kepolisian kita akan mendengar banyaknya kasus penganiayaan dan pemerasan terhadap seorang tersangka yang dilakukan oknum polisi pada saat proses penyidikan. Terakhir perihal kriminalisasi terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Institusi kejaksaan juga tidak luput dari cercaaan, dengan tidak bisa membuktikannya kesalahan seorang terdakwa di pengadilan, bahkan terakhir muncul satu kasus dimana jaksa gagal melaksanakan tugasnya sebagai penegak hukum yang baik setelah surat dakwaannya dinyatakan tidak dapat diterima. Adanya surat dakwaan yang tidak dapat diterima oleh majelis hakim, menunjukkan bahwa jaksa tersebut telah menjalankan tugasnya dengan dengan tidak profesioanl dan bertanggung jawab. Ironisnya tidak diterimanya surat dakwaan tersebut disebabkan karena hampir sebagian besar tanda tangan di berita acara pemeriksaan (BAP) merupakan tanda tangan palsu. Akhirnya proses pidana sampai di tangan hakim (pengadilan) untuk diputus apakah terdakwa bersalah atau tidak. Hakim sebagai orang yang dianggap sebagai ujung tombak untuk mewujudkan adanya keadilan, ternyata tidak luput juga dari cercaan masyarakat. Banyaknya putusan yang dianggap tidak adil oleh masyarakat telah menyebabkan adanya berbagai aksi yang merujuk pada kekecewaan pada hukum. Banyaknya kekecewaan terhadap pengadilan (hakim) ini terkait dengan merebaknya isu mafia peradilan yang terjadi di tubuh lembaga berlambang pengayoman tersebut. Institusi yang seharusnya mengayomi hukum ini sempat menyeret nama pimppinan tertingginya sebagai salah satu mafia peradilan. Meskipun kebenarannya sampai saat ini belum terbukti, namun kasus ini menunjukkan bahwa pengadilan masuk sebagai lembaga yang tidak dipercaya oleh masyarakat. Jika kita sudah tidak percaya lagi pada pengadilan, pada institusi mana lagi kita akan meminta keadilan di negri ini?
Mafia peradilan ternyata tidak hanya menyeret nama hakim semata, tetapi justru sudah merebak sampai pegawai-pegawainya. Panitera pengadilan yang tugasnya tidak memutus perkara ternyata juga tidak luput dari jerat mafia suap. Bahkan kasus suap ini telah menyeret beberapa nama sampai ke pengadilan. Ironisnya mafia ini juga sampai ke tangan para wakil rakyat yang ada di kursi pemerintahan. Sungguh ironis sekali kenyataan yang kita lihat sampai hari ini, yang semakin membuat bopeng wajah hukum Indonesia.
Uraian di atas menunjukkan betapa rusaknya hukum di Indonesia. Mungkin yang tidak mendapat sorotan adalah lembaga pemasyarakatan karena tidak banyak orang yang mengamatinya. Tetapi lembaga ini sebenarnya juga tidak dapat dikatakan sempurna. Lembaga yang seharusnya berperan dalam memulihkan sifat para warga binaan (terpidana) ternyata tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Jumlah narapidana yang melebihi dua kali lipat dari kapasitasnya menjadikan nasib narapidana juga semakin buruk. Mereka tidak tambah sadar, tetapi justru belajar melakukan tindak pidana baru setelah berkenalan dengan narapidana lainnya. Tentunya ini jauh dari konsep pemidanaan yang sesungguhnya bertujuan untuk merehabilitasi terpidana. Bahkan fakta yang ada hari ini, beberapa narapidana dengan leluasanya membuat “aturan” sendiri dengan merubah hotel prodeo tersebut menjadi hotel bak bintang lima.
Keprihatinan yang mendalam tentunya melihat reformasi hukum yang masih berjalan lambat dan belum memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pada dasarnya apa yang terjadi akhir-akhir ini merupakan ketiadaan keadilan yang dipersepsi masyarakat (the absence of justice). Ketiadaan keadilan ini merupakan akibat dari pengabaian hukum (diregardling the law), ketidakhormatan pada hukum (disrespecting the law), ketidakpercayaan pada hukum (distrusting the law) serta adanya penyalahgunaan hukum (misuse of the law). Sejumlah masalah yang layak dicatat berkenaan dengan bidang hukum antara lain:
1.    Sistem peradilan yang dipandang kurang independen dan imparsial
2.    Belum memadainya perangkat hukum yang mencerminkan keadilan social
3.    Inkonsistensi dalam penegakan hukum
4.    Masih adanya intervensi terhadap hukum
5.    Lemahnya perlindungan hukum terhadap masyarakat
6.    Rendahnya kontrol secara komprehensif terhadap penegakan hukum
7.    Belum meratanya tingkat keprofesionalan para penegak hukum
8.    Proses pembentukan hukum yang lebih merupakan power game yang mengacu pada kepentingan the powerfull daripada the needy (Kebutuhan)
Selain lembaga-lembaga yang telahh disebut di atas masih ada lembaga lain yang terkait dengan penegakan hokum di Indonesia yaitu Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga Negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hokum dan keadilan. Keberadaan MK yang didasarkan pada UU 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi menjadi salah satu control atas peran DPR yag berperan sebagai lembaga legislative. Mekanisme control ini diwujudkan dengan kewenangannya untuk melakukan uji materil atas Undang-Undang yang dibuat oleh DPR. Seperti telah disebut di atas bahwa ada kalanya pembuatan Undang-Undang yang ada di Indonesia tidak dilakukan dalam rangka mewujudkan keadilan, sehingga perlu adanya suatu kontrol untuk menilai apakah Undang-Undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Sampai hari ini kiranya MK telah menjalankan tugasnya dengan baik sebagai garda penjaga konstitusi. Sebagai penafsir konstitusi yang tertinggi, apapun yang diputuskan oleh MK memang harus diikuti, terlepas dari perdebatan yang ada di MK dalam menilai suatu perkara. Dalam tugas lain juga saya menilai MK dapat berperan dengan baik, ini karena tugas MK yang senantiasa terkait dengan penafsiran terhadap UUD 1945 dan selama ini senantiasa berpegang teguh pada pendiriannya tanpa terpengaruh oleh pihak lain. Hal yang perlu diperbaiki dalam kaitannya dengan MK adalah terkait dengan hukum acara MK. Yang belum jelas. Artinya perlu diabuatkan suatu UU yang mengatur tata cara berperkara di MK, mengingat selama ini pengaturannya masih menggunakan pedoman dari MK
Konsep Reformasi Hukum[12]
Setelah melihat kondisi hukum yang terpuruk tersebut maka tidak ada kata lain selain terus mengedepankan reformasi hukum yang telah digagas oleh bangsa ini. Kegiatan reformasi Hukum perlu dilakukan dalam rangka mencapai supremasi hukum yang berkeadilan. Beberapa konsep yang perlu diwujudkan antara lain:
1.       Penggunaan hukum yang berkeadilan sebagai landasan pengambilan keputusan oleh aparatur negara.
2.       Adanya lembaga pengadilan yang independen, bebas dan tidak memihak.
3.       Aparatur penegak hukum yang professional
4.       Penegakan hukum yang berdasarkan prinsip keadilan
5.       Pemajuan dan perlindungan HAM
6.       Partisipasi publik
7.       Mekanisme control yang efektif.
Pada dasarnya reformasi hukum harus menyentuh tiga komponen hukum yang disampaikan oleh Lawrence Friedman yang meliputi:
1.    Struktur Hukum, dalam pengertian bahwa struktur hukum merupakan pranata hukum yang menopang sistem hukum itu sendiri, yang terdiri atas bentuk hukum, lembaga-lembaga hukum, perangkat hukum, dan proses serta kinerja mereka.
2.    Substansi Hukum, dimana merupakan isi dari hukum itu sendiri, artinya isi hukum tersebut harus merupakan sesuatu yang bertujuan untukmenciptakan keadilan dan dapat diterapkan dalam masyarakat.
3.    Budaya Hukum, hal ini terkait dengan profesionalisme para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, dan tentunya kesadaran masyarakat dalam menaati hukum itu sendiri.
Kiranya dalam rangka melakukan reformasi hukum tersebut ada beberapa hal yang harus dilakukan antara lain:
1.       Penataan kembali struktur dan lembaga-lembaga hukum yang ada termasuk sumber daya manusianya yang berkualitas;
2.       Perumusan kembali hukum yang berkeadilan;
3.       Peningkatan penegakkan hukum dengan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hukum;
4.       Pengikutsertaan rakyat dalam penegakkan hukum;
5.       Pendidikan publik untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap hukum; dan
6.       Penerapan konsep Good Governance.
7.       Menteri Hukum dan HAM RI Amir Syamsuddin merampungkan serangkaian kunjungannya ke beberapa Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia. Hasil kunjugannya, Lapas di Indonesia masih memiliki banyak kekurangan. "Iya benar, masih ada kekurangan," ujar Amir di Gedung KemenkumHAM, Jakarta[13]. Salah satunya, kata Amir, Lapas belum bisa memberikan perlindungan secara maksimal kepada narapidana yang masih di bawah umur (narapidana anak) . Selain itu, lapas masih mencampur adukkan pengedar dengan pengguna narkoba dalam satu blok atau sel tahanan.
8.       Kasus yang terjadi akhir-akhir ini, telah memberikan gambaran wajah dari lembaga pemasyarakatan Indonesia. Bayak kekurangan dan kelemahan-kelemahan yang dinilai telah menjelaskan bahwa mutu dari sistem hukum kita masih dipertanyakan. Kasus Ayin misalnya, telah memberukan tanggapan buruk masyarakat trhadap sisteh hukum kita. Seharusnya, narapidana yang telah banyak merugikan negara seperti ayin, malah diberikan fasilitas yang sangat mewah. Siapa yang dapat dipersalahkan seperti pada kasus ini, semua pihak seakan-akan tidak dapat menjelaskannya.
Selain pencegahan, pengejaran dan pengusutan kasus-kasus korupsi, pemerintah harus terus berusaha mengejar aset dan memulihkan kerugian negara. Disamping itu, pemerintah juga harus tetap melanjutkan upaya serupa untuk mengatasi aksi terorisme dan bahaya lainnya yang dapat memecahbelah keutuhan NKRI serta mencegah berkembangnya radikalisme dan juga meningkatkan pemberantasan segala kegiatan ilegal, mulai dari penebangan liar (illegal Logging), penangkapan ikan liar (illegal fishing) hingga penambangan liar (illegal mining), baik yang lokal maupun yang transnasional. Dari semua itu kiranya korupsi yang akan menjadi sebuah bahaya laten harus menjadi prioritas utama untuk diberantas. Melihat kenyataan, bahwa penegakan hukum di Indonesia tidak akan mengalami kemajuan yang begitu pesat, tetapi kemajuan itu akan tetap ada. Hal ini terlihat dari komitmen pemerintah untuk mewujudkan penegakkan hukum dengan didukung oleh aparat penegak hukum lainnya. Kasus mafia peradilan yang akhir-akhir ini banyak disorot masyarakat akan menjadikan penegak hukum lebih berhati-hati dalam menjalankan tugasnya. Meskipun saat ini kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum masih sangat rendah. Keberanian lembaga-lembaga hukum bangsa ini akan menjadi titik cerah bagi penegakan hukum. Namun selain itu kesadaran masyarakat dalam menaati hukum akan menjadi hal yang mempengaruhi penegakkan hukum di Indonesia. Karena lemahnya penegakan hukum selama ini juga akibat masyarakat yang kurang menaati hukum. Kita berharap, sistem hukum kita akan semakin berkembang dengan baik sejalan dengan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat.

















BAB IV
PENUTUP
A.  Kesimpulan
 Berdasarkan uraian di atas maka penulis dapat memperoleh kesimpulan sebagai berikut
Apabila ditinjau melalui tujuan didirikan Lembaga Pemasyarakatan, proses pembinaan yang seharusnya diberikan kepada narapidana belum dapat berjalan. Hal ini disebabkan karena sarana dan prasarana Lembaga Pemasyarakatan yang belum dapat mengakomodir konsep Lembaga Pemasyarakatan sebagai wadah pembinaan narapidana. Selain itu beberapa faktor non-teknis seperti : paradigma tentang narapidana dan wujud pembinaan yang belum sempurna turut memperburuk kondisi pembinaan di pemasyarakatan.    
B.   Saran
Melihat fenomena pemasyarakatan yang ada cukup memprihatinkan, beberapa hal yang ingin penulis sampaikan adalah :
1.      Adanya koordinasi terkait antara pihak kepolisian, kejaksaan, pegawai pemasyarakatan, serta masyarakat dalam membina pelaku kejahatan.
2.      Pengadaan sarana dan prasarana yang mendukung proses pembinaan narapidana dalam pemasyarakatan, selain itu diperlukan sistem yang berorientasi pada nasib narapidana ketika bebas dan kembali lagi dalam masyarakat.
3.      Pemerintah melalui kekuasaannya diharapkan dapat mengubah paradigma tentang pelaku kejahatan. 

DAFTAR PUSTAKA
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) : Perspektif
Eksistensialisme Dan Abolisionisme, Jakarta : Bina Cipta, hal.15 Dikutip dari Mardjono Reksodiputro, 1994,
Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana : Kumpulam Karangan Buku Ketiga, Pusat Pelayanan
Keadilan dan Pengabdian Hukum-Universitas Indonesia, hal. 84-85.
Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track
System&Implementasinya, Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada, hal.114.
Yesmil Anwar dan Adang, 2008, Pembaruan Hukum Pidana : Reformasi Hukum, Jakarta :PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, hal.125.
Djisman Samosir, 1992, Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan Di Indonesia, Bandung. Bina Cipta, hal.82
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) : Perspektif

Eksistensialisme Dan Abolisionisme, Jakarta : Bina Cipta, hal.15 Dikutip dari Mardjono Reksodiputro, 1994,PENOLOGI

Penulis : JANANG JARI ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi

Artikel MAKALAH PENOLOGI ini dipublish oleh JANANG JARI pada hari Jumat, 27 Juni 2014. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.sudah ada 0 komentar: di postingan MAKALAH PENOLOGI
 

0 komentar: