1. KUHP NEGARA YANG MENGANUT SISTEM
HUKUM COMMON LAW
A.Hukum inggris
Hukum Inggris adalah sistem
hukum di Inggris dan Wales, sekaligus
merupakan dasar sistem hukum
umum yang dipakai oleh kebanyakan negara Persemakmuran (Commonwealth)
dan Amerika
Serikat (sebagai lawan dari hukum perdata atau hukum plural di
negara lain, seperti hukum Skotlandia). Sistem hukum ini
mulai dipakai saat Kerajaan
Britania Raya dibangun dan dikelola, lalu membentuk sebuah
dasar jurisprudensi di negara-negara Persemakmuran. Hukum Inggris yang dipakai
di Amerika Serikat sejak zaman Revolusi juga
termasuk bagian dari sistem Hukum Amerika Serikat,
kecuali di Louisiana,
dan merupakan dasar bagi kebijakan dan tradisi sistem hukum Amerika,
walaupun jurisprudensi di sistem hukum
Amerika Serikat tidak berganti.
Hukum Inggris diberlakukan secara ketat di Inggris dan Wales. Walaupun
Wales telah memiliki sebuah Dewan Penyerahan, setiap legislasi yang diajukan
oleh Dewan ini sudah diatur ketentuan pengajuannya dalam Undang-Undang
Pemerintahan Wales tahun 2006, legislasi oleh Parlemen
Britania Raya, dan oleh perintah sebuah dewan yang diberikan
kewenangan oleh Undang-Undang Pemerintah Wales
tahun 2006. Lebih jauh lagi bahwa legislasi, juga dengan
peraturan yang dibuat oleh badan pemerintah di Inggris dan Wales, ditafsirkan
oleh Dewan Hakim Bersama Inggris dan Wales.
Esensi hukum umum Inggris adalah bahwa hukum ini dibuat oleh hakim yang
duduk di pengadilan dengan menerapkan logika dan pengetahuan mereka tentang
sistem hukum terdahulu (stare decisis). Keputusan pengadilan
tertinggi di Inggris dan Wales bersifat mengikat bagi pengadilan-pengadilan di
bawahnya. Sebagai contoh, tidak ada yang undang-undang parlementer yang
menyatakan bahwa pembunuhan itu ilegal karena pembunuhan merupakan kejahatan
dalam hukum umum - jadi walaupun dalam UU Parlemen Inggris tidak tertulis bahwa
pembunuhan itu ilegal, pembunuhan tetap ilegal dengan mengacu kepada kebijakan
konstitusional pengadilan dan kasus-kasus terdahulu berkaitan dengan
pembunuhan. Hukum umum dapat diubah dan dicabut oleh Parlemen, contohnya
perubahan hukuman bagi pembunuh. Zaman dahulu pembunuh dihukum mati, tapi
sekarang pembunuh mendapatkan kurungan seumur hidup.
Inggris dan Wales adalah konstituen dari Britania Raya, yang
merupakan anggota dari Uni Eropa (UE) dan hukum UE juga berlaku di Britania
Raya. Uni
Eropa terdiri dari negara-negara yang memakai hukum sipil sehingga hukum sipil juga berlaku di
Inggris dalam bentuk hukum UE. Dewan Kehakiman Uni Eropa, sebuah pengadilan
hukum perdata, memandu pengadilan di Inggris dan Wales untuk mengikuti hukum
UE. Hukum tertua dalam sistem hukum Inggris adalah Undang-Undang Marlborough yang
dibuat pada tahun 1267. 3 bagian
dari Magna Carta yang
merupakan sebuah perkembangan penting dalam sistem hukum Inggris sebenarnya
sudah disahkan pada tahun 1215,
hanya saja disahkan kembali pada tahun 1295 karena para pembuat memutuskan
untuk mengubah ulang isi Magna Carta.
B.Indian Penal Code
Di dalam IPC, Hindi:, Urdu-in-devanagari: adalah
merupakan peraturan hukum
pidana yang berlaku di seluruh India termasuk wilayah Jammu dan Kashmir,
yang dahulu disebut dengan nama Ranbir Penal Code (RPC). Peraturan
ini diterapkan terhadap setiap kejahatan yang dilakukan oleh warga negara India
dimanapun baik di wilayah India maupun di atas kapal laut berbendera India
maupun pesawat udara India. Rancangan peraturan pidana India ini dibuat oleh
Komisi Hukum Utama ( First Law Commission) yang diketuai oleh Lord Macaulay. Hukum ini mengacu pada
hukum Inggris dan
juga berasal dari pengembangan "Penal Code" Perancis dan
dari Livingstone's Code of Louisiana. Rancangan ini mengalami
revisi dibawah Sir Barnes Peacock, Kepala Departemen
Kehakiman , dan hakim di Pengadilan Tertinggi Calcutta yang
juga merupakan anggota Dewan Legislatif (Legislative Council), yang merupakan
lulusan fakultas hukum pada tahun 1860, sayangnya Macaulay tidak keburu melihat
hasil karyanya dituangkan sebagai undang-undang. Indian Penal Code mulai
berlaku pada tahun 1862 pada masa Kemaharajaan
Britania dan beberapa kali secara teratur mengalami
perubahan. Indian Penal Code juga digunakan oleh Pakistan dan Bangladesh, yang
dahulunya merupakan bagian dari wilayah Kemaharajaan
Britania. Juga diadopsi oleh bekas otoritas kolonial Inggris
di Birma, Srilanka, Malaysia, Singapura dan Brunei.
C.Konstitusi Pakistan
Didalam penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Zamroni menyatakan bahwa
Pakistan memiliki tradisi teo-demokrasi constitutional yang sudah berjalan
cukup lama ketika dipengaruhi Inggris, terlihat dari kurikulum pendidikan hukum
dan praktik perundang-undangan yang berlaku. Konstitusi 1956 yang didasari atas
pemikiran Abu A’la Al-Maududi dan Muhammad Assad menyatakan sebagai Republik
Islam dapat dirasakan sebagai sebuah karakter religius sampai tahun 1962.Pada
waktu yang bersamaan kekuatan Islam politik bersaing dengan kekuatan yang
memperjuangkan Republik Pakistan (tanpa kata “Islam”) berusaha mengganti frase
“Al-Quran dan Sunnah”.
Lanjutnya dalam penelitian menyatakan bahwa dalam amandemen ketiga yang
terjadi pada 1973 melahirkan konstitusi pertama yang disahkan melalui sebuah
majlis nasional dengan menempatkan dasar-dasar pemerintahan Islam dengan
prinsip demokrasi seperti dinyatakan pada mukadimah konstitusi yang inti
bunyinya bahwa dalam prinsip-prinsip keadilan demokrasi, kebabasan,
kesertaraan, toleransi dan sosial sebagaimana yang diutarakan dalam Islam harus
sepenuhnya diamati secara seksama. Yang mana pada setiap umat Islam haruslah
diterapkan untuk menata hidup mereka baik idividu maupun secara bersama sesuai
dengan ajaran Islam dan pula yang disyaratkan dalam Al-Quran dan Sunnah.Inilah
yang menjadi gambaran tradisi yang diterapkan sejak lama oleh Negara Paksitan
dan menjadi sebuah aturan dalam menetapkan sebuah hukum yang ingin diterapkan
oleh Negara tersebut. Sehingga kita pun akhirnya tahu bahwa Pakistan merupakan
Negara yang memilki karakteristik sangat kental dengan nuansa religius dalam
menetapkan pasal-pasalnya. Hal ini pun juga tentutnya yang menjadikan corak
hukum keluarga Islam yang diterapkan di Negara Pakistan pun pastinya berasaskan
tradisi teo-demokrasi.
2.PERBANDINGAN KUHP INDONESIA dengan RANCANGAN KUHP TAHUN 2012
BAB III mengenai Pemidanaan,Pidana, dan Tindakan
KUHP tidak menjelaskan mengenai adanya suatu Tujuan Pemidanaan, akan
tetapi didalam RKUHP tujuan pemidanaan diuraikan secara jelas pada pasal 54
ayat (1) dan (2) yang mana ini merupakan implementasi dari Ide Keseimbangan. Pemidanaan bertujuan:
a. mencegah dilakukannya tindak
pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan
pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c. menyelesaikan konflik yang
ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan
rasa damai dalam masyarakat; dan
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
e. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan
dan merendahkan martabat manusia.
RKUHP menyebutkan serta menjelaskan mengenai Pedoman Pemidanaan yang
tidak terdapat di dalam KUHP. Pedoman Pemidanaan sejatinya akan sangat membantu
hakim dalam mempertimbangkan takaran atau berat ringannya suatu hukumman atau
pidana yang akan dijatuhkan. Hal ini terdapat dalam pasal 51 ayat (1) mengenai
pertimbangan dalam pemidanaan, dan pasal 52 ayat (2) mengatur mengenai asas
Rechterlijk Pardon (permaafan hakim) dengan mempertimbangkan keadilan dan
kemanusiaan terhadap terdakwa. Dalam pemidanaan
wajib dipertimbangkan sebagai berikut
:
a. kesalahan
pembuat tindak pidana;
b. motif
dan tujuan melakukan tindak pidana;
c. sikap
batin pembuat tindak pidana;
d. tindak
pidana yang dilakukan apakah direncanakan
atau tidak direncanakan;
e. cara melakukan tindak pidana;
f. sikap dan tindakan pembuat
sesudah melakukan tindak pidana;
g. riwayat hidup, keadaan sosial, dan
keadaan ekonomi pembuat tindak pidana;
h. pengaruh pidana terhadap masa depan
pembuat tindak pidana;
i. pengaruh tindak pidana
terhadap korban atau keluarga korban;
j. pemaafan dari korban dan/atau
keluarganya; dan/atau
k. pandangan masyarakat terhadap tindak
pidana yang dilakukan.
l. Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan
pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan
dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan
dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
Pada pasal 56 RKUHP mengatur tentang Culpa in Causa, yaitu
dimana seseorang patut untuk dicela apabila dia dengan sengaja memasukkan diri
ke dalam alasan penghapus pidana. Mengenai Culpa in Causa, hal ini tidak
56, sebagai berikut : seseorang yang melakukan tindak pidana tidak dibebaskan
dari pertanggungjawaban pidana berdasarkan alasan peniadaan pidana, jika orang
tersebut telah dengan sengaja menyebabkan terjadinya keadaan yang dapat menjadi
alasan peniadaan pidana. KUHP tidak mengatur secara terbuka mengenai perubahan
dan penyesuaian pidana , namun RKUHP mengatur akan hal itu yang terdapat pada
pasal 57 ayat (1)-(6) tentang perubahan dan penyesuaian pidana. Dengan
memperhatikan sakah satu tujuan pemidanaan yang berorientasi kepada usaha untuk
memperbaiki perilaku terpidana, yang mana dimungkinkan untuk adanya suatu
remisi.
Di dalam KUHP tidak mengatur tentang Pedoman Penerapan Pidana Penjara dengan
Perumusan Tunggal dan Alternatif, sedangkan RKUHP mengatur tentang hal itu yang
terdapat dalam pasal 58 ayat (1) – (4). Pasal ini dicantumkan bertujuan untuk
memberikan kemungkinan yang diberikan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana
denda sebagai pengganti pidana penjara terhadap terdakwa, yang mana untuk
mengatasi sifat kaku dari perumusan pidana yang bersifat tunggal yang
seolah-olah mengharuskan hakim untuk hanya menjatuhkan pidana penjara. Masih
terkait dengan Penjelasan pasal 59-60 RKUHP juga mengatur tentang Pedoman
Penerapan Pidana Penjara dengan Perumusan Tunggal dan Alternatif.
Lain-lain ketentuan pemidaan tidak terdapat pada KUHP, akan tetapi
diatur didalam pasal 61 dan 62 RKUHP yang mengatur tentang pelaksanaan putusan
( penintensier ).
RKUHP pada pasal 63 ayat (1) – (3) mengatur tentang ketentuan waktu
permohonan pengajuan grasi, yang tidak dijelaskan di dalam KUHP.
Jenis-jenis pidana sebenarnya sudah dijelaskan di dalam KUHP pada BUKU I
pasal 10 huruf a yang terdiri dari pidana mati, penjara, kurungan, denda. Hal
ini berbeda dengan jenis-jenis pidana yang terdapat dalam pasal 65 ayat (1)
RKUHP yang mengatur lain tentang pidana pokok, yaitu : pidana penjara; pidana
tutupan; pidana pengawasan; pidana denda; dan pidana kerja sosial.
Dan pada pasal 65 ayat (2) mengatur tentang hierarkhi pemidanaan menentukan berat ringannya pidana.
Pidana mati dicantumkan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa
jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus yang merupakan jenis pidana yang
paling berat. Seperti yang tercantum di dalam pasal 66 RKUHP. Ketentuan ini
tidak terdapat dalam KUHP, KUHP hanya memberikan penjalanan / pelaksanaan
tentang pidana mati dan tidak menempatkannya pada pasal yang tersendiri.
Mengenai pidana tambahan sebenarnya sudah diatur di dalam KUHP pasal 10
huruf b, yang terdiri dari perampasan barang-barang tertentu, perampasan
hak-hak tertentu dan pengumuman putusan hakim. Akan tetapi ada tambahan atau
hal baru yang mana telah diatur di dalam pasal 67 ayat (1) RKUHP, yaitu : pembayaran ganti kerugian; dan pemenuhan
kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam
masyarakat.
Pasal 67 ayat (2) – (5) RKUHP mengatur tentang sifat dan ketentuan
pidana tambahan, yaitu ; dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok,
sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama
dengan pidana tambahan yang lain. Pidana tambahan berupa
pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup
dalam masyarakat atau pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan
walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana. Pidana tambahan
untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan pidana tambahan untuk
tindak pidananya. Anggota Tentara Nasional Indonesia yang melakukan tindak pidana
dapat dikenakan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan bagi Tentara Nasional Indonesia.
KUHP tidak menjelaskan akan Pidana Tutupan akan tetapi RKUHP
menjelaskannya lebih dalam yang tertuang di dalam pasal 76 ayat (1) – (3)
yaitu: mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya dapat dijatuhi pidana
tutupan; terdakwa yang melakukan tindak pidana karena terdorong oleh maksud
yang patut dihormati.
Begitupun dengan pidana pengawasan yang tidak dijelaskan pada KUHP akan
tetapi dijelaskan dalam RKUHP pada pasal 77-79, yaitu: tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun untuk waktu paling
lama 3 (tiga) tahun; mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya. Dengan syarat‑syarat: terpidana tidak akan melakukan tindak pidana; terpidana dalam waktu
tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan, harus mengganti seluruh
atau sebagian kerugian yang timbul oleh tindak pidana yang dilakukan; dan/ atau; terpidana harus melakukan perbuatan
atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama
dan kemerdekaan berpolitik.
Pengaturan mengenai pidana denda sebenarnya sudah diatur dalam di dalam
KUHP pasal 30 akan tetapi adanya hal baru pada pasal 80 ayat 1-7 yang mana ada
pembaharuan nominal denda dan adanya nominal minimum dan minimum khusus. Pidana
denda merupakan pidana berupa sejumlah uang yang wajib
dibayar oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan. Jika tidak
ditentukan minimum khusus maka pidana denda paling sedikit Rp100.000,00
(seratus ribu rupiah). Pidana denda
paling banyak ditetapkan berdasarkan kategori, yaitu:
a. kategori I Rp 6.000.000,00
(enam juta rupiah);
b. kategori II Rp 30.000.000,00
(tiga puluh juta rupiah);
c. kategori III Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah);
d. kategori IV Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah);
e. kategori V Rp 1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah); dan
f. kategori VI Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Masih terkait dengan pidana denda ( tidak terdapat pada KUHP ) pasal 81
RKUHP mengatur tentang kemampuan terdakwa dalam pidana denda, kemampuan
terdakwa yang juga termasuk dengan keadaan pribadinya, serta menyatakan bahwa
ayat (1) dan (2) tidak mengurangi minimum khusus pada tindak pidana tertentu.
KUHP tidak mengatur tentang pidana pengganti denda untuk korporasi, namun hal
ini dijelaskan secara terbuka pada pasal 85 RKUHP, pidana
pengganti berupa pencabutan izin usaha atau pembubaran korporasi.
Mengenai Pidana kerja sosial tidak terdapat pada KUHP, sedangkan hal ini
terdapat di dalam RKUHP pasal 86 ayat (1) – (7) , hal ini terkait dengan
perumusan alternatif dimana pidana penjara menjadi obat yang paling terakhir
dan sebisa mungkin dihindari, sebagai contoh diganti dengan kerja sosial
seperti yang dijelaskan oleh pasal 86 ayat (1) – (7) RKUHP.
Pidana mati yang penyusunannya secara alternatif hanya dijelaskan di
dalam pasal 87 RKUHP, sedangkan pada KUHP tidak dijelaskan, Pidana mati secara
alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.
Pelaksanaan pidana mati sebenarnya sudah diatur dan dijelaskan dalam KUHP pada
pasal 11, akan tetapi hanya sebatas tata cara terpidana dihukum mati, sedangkan
pada hal yang sama yang diatur dalam pasal 88 RKUHP ada hal-hal yanag baru yang
dijelaskan terkait pelaksanaan pidana mati dengan menembak terpidana sampai
mati oleh regu tembak, tidak dilaksanakan di muka umum, terhadap wanita hamil
atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang
yang sakit jiwa tersebut sembuh. Pidana mati baru dapat
dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden.
Pada pasal berikutnya, yaitu pasal 89 RKUHP mengatur mengenai penundaan
pidana mati dan dalam KUHP hal ini tidak diatur, yaitu dapat ditunda dengan
masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun, jika reaksi
masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar; terpidana menunjukkan rasa
menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; kedudukan terpidana dalam penyertaan
tindak pidana tidak terlalu penting; dan ada alasan yang meringankan. Jika
terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji
maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara
paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan keputusan menteri
yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi
manusia. Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada
harapan untuk diperbaiki maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah
Jaksa Agung.
Pada pasal 91 RKUHP mengatur mengenai Pidana Tambahan yang terdiri dari
2 ayat. Dimana ayat 1 mengatur tentang Pencabutan Hak tertentu. Terkait dengan
pasal 91 ayat 1 tersebut sebenarnya di KUHP sudah dijelaskan pada pasal 35 ayat
1 KUHP. Sedangkan untuk Pasal 91 ayat 2 RKUHP, ini merupakan hal baru yang
tidak diatur di dalam KUHP yang mengatur mengenai pencabutan hak atas Korporasi.
Terkait dengan hal Perampasan, sebenarnya sudah diatur di dalam KUHP
pasal 39-42 , akan tetapi tidak dijelaskan mengenai ketentuan penjatuhan pidana
perampasan seperti yang diatur di dalam pasal 95 RKUHP yaitu dapat dijatuhkan
tanpa pidana pokok jika ancaman pidana penjara terhadap tindak pidana yang
bersangkutan tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun, pidana perampasan barang
tertentu dan/atau tagihan dapat juga dijatuhkan, jika terpidana hanya dikenakan
tindakan. Pidana perampasan barang yang bukan milik terpidana tidak dapat
dijatuhkan, jika hak pihak ketiga dengan itikad baik akan terganggu.
Memang di dalam KUHP mengatur tentang perampasan dan pengumuman putusan
hakim, akan tetapi tidak mengatur tentang Pencantuman pidana tambahan
berupa pembayaran ganti kerugian kepada korban, seperti yang disebutkan dan
dijelaskan pada pasal 99 ayat (1) dan (2) RKUHP.
Pada pasal 100 RKUHP yang mengatur pemenuhan pidana pengganti kepada
masyarakat atau adat setempat. Yang mana hal ini tidak diatur di dalam KUHP.
KUHP tidak mengatur tentang Tindakan/Treatment karena tidak menganut
sistem Double Track System, berbeda dengan RKUHP yang menganut sistem ini.
Double Track System yaitu di samping pembuat tindak pidana tindak pidana
dapat dijatuhi pidana, dapat juga dikenakan berbagai tindakan. Yang
tertuang pada pasal 101-112 RKUHP, yang menjelaskan secara terbuka mengenai
tindakan dari jenis-jenis tindakan, ketentuan tindakan sampai dengan tata cara
pelaksanaannya.
Pada pasal berikutnya yaitu pada pasal 114 ayat 1 dan 2 RKUHP
mengatur bahwa sedapat mungkin anak sebagai pembuat tindak pidana
dihindarkan dari pemeriksaan di sidang pengadilan.Pasal 115 RKUHP, yang
mengatakan bahwa pemberatan pidana pada pengulangan tindak pidana yang
dilakukan anak tidak perlu diterapkan.
Pasal 116 mengatakan bahwa Ketentuan dalam Pasal ini memuat
jenis-jenis pidana bagi anak yang dapat dijatuhkan oleh hakim. Pidana pokok bagi anak terdiri atas:
a. Pidana verbal (diatur lebih lanjut pada pasal 117) :
pidana peringatan; atau pidana teguran keras;
b. Pidana dengan
syarat (diatur lebih lanjut dalam
pasal 118) : pidana pembinaan di luar lembaga (diatur lebih lanjut dalam pasal 119); pidana kerja sosial (diatur
lebih lanjut dalam pasal 120); atau pidana
pengawasan (diatur lebih lanjut dalam
pasal 121) ;
c. Pidana denda (diatur lebih lanjut dalam pasal 122- pasal 123); atau
d. Pidana
pembatasan kebebasan (diatur lebih lanjut
dalam pasal 124): pidana pembinaan di dalam lembaga (diatur
lebih lanjut dalam pasal 125) ; pidana penjara (diatur lebih lanjut
dalam pasal 126) dengan maksimal 10 tahun dan tidak dapat dijatuhi hukuman
pidana penjara seumur hidup atau pidana mati;
atau pidana tutupan (diatur lebih lanjut
dalam pasal 127).
Pidana tambahan terdiri atas:
a. perampasan barang‑barang tertentu dan/atau
tagihan;
b. pembayaran ganti kerugian; atau
c. pemenuhan kewajiban adat.
Pada KUHP sebenarnya telah mengatur mengenai hal yang memperingan dan
memberatkan pengenaan pidana, yaitu tak mampu bertanggungjawab, belum umur 16
tahun, daya paksa, pembelaan terpaksa, ketentuan undang-undang, perintah
jabatan, pemberatan karena jabatan/bendera kebangsaan dan tentang percobaan.
Akan tetapi ada hal-hal baru yang ada pada bab faktor yang memperingan dan
memperberat pidana, seperti yang diatur pada pasal 132-136 RKUHP. Pasal 132-133
RKUHP mengatur tentang hal yang memperingan pidana dan hal-hal yang
meringankan pidana dengan ditetapkannya maksimum pidana yang dapat dijatuhkan. Faktor yang memperingan pidana meliputi:
a. percobaan melakukan tindak pidana;
b. pembantuan terjadinya tindak pidana;
c. penyerahan diri secara sukarela kepada yang berwajib setelah
melakukan tindak pidana;
d. tindak pidana yang dilakukan oleh wanita hamil;
e. pemberian ganti kerugian yang layak atau perbaikan kerusakan secara
sukarela sebagai akibat tindak pidana yang dilakukan;
f. tindak pidana yang dilakukan karena kegoncangan jiwa
yang sangat hebat;
g. tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39; atau
h. faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat. Untuk tindak pidana yang diancam pidana mati dan penjara seumur hidup,
maksimum pidananya penjara 15 (lima belas) tahun. Berdasarkan pertimbangan
tertentu, peringanan pidana dapat berupa perubahan jenis pidana dari yang lebih
berat ke jenis pidana yang lebih ringan.
Sedangkan pada pasal 134-135 mengatur tentang pemberatan pidana
dan terdapat hal-hal yang memperberat pidana dengan ditetapkannya maksimum
ancaman pidana ditambah 1/3 (satu per tiga). Sebagai berikut :
a. pelanggaran suatu kewajiban jabatan yang khusus diancam
dengan pidana atau tindak pidana yang dilakukan oleh pegawai negeri dengan
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya
karena jabatan;
b. penggunaan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau
lambang negara Indonesia pada waktu melakukan tindak pidana;
c. penyalahgunaan keahlian atau profesi untuk
melakukan tindak pidana;
d. tindak pidana yang dilakukan orang dewasa bersama-sama
dengan anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun;
e. tindak pidana yang dilakukan secara
bersekutu, bersama‑sama, dengan kekerasan, dengan cara yang kejam, atau dengan
berencana;
f. tindak pidana yang
dilakukan pada waktu terjadi huru hara atau bencana alam;
g. tindak pidana yang dilakukan pada waktu
negara dalam keadaan bahaya;
h. pengulangan tindak pidana; atau
i. faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam
masyarakat. .
Pasal 136 RKUHP yang terdiri dari 2 ayat, dimana ayat yang 1 mengatur
tentang
faktor yang memperingan dan memperberat pidana secara bersama-sama dan
ayat yang ke 2 mengatur tentang pertimbangan hakim akan ketentuan pada ayat
(1). Sebagai berikut :
(1) Jika dalam suatu perkara terdapat
faktor yang memperingan dan memperberat pidana secara bersama‑sama maka
maksimum ancaman pidana diperberat lebih dahulu, kemudian hasil pemberatan
tersebut dikurangi 1/3 (satu per tiga).
(2) Berdasarkan pertimbangan
tertentu, hakim dapat tidak menerapkan ketentuan mengenai peringanan dan
pemberatan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Perihal perbarengan sebenarnya sudah diatur di KUHP yaitu pasal 63-71.
Akan tetapi ada hal baru yang terdapat pada pasal 142 ayat (2) RKUHP, yang
mengatur tentang, yaitu lamanya pidana
penjara pengganti atau pidana pengawasan pengganti tidak boleh lebih dari 1
(satu) tahun.
0 komentar:
Posting Komentar