HUKUM AGRARIA
Pembahasan –
pembahasan /skedul – skedul mata kuliah hokum agraria.
Pokok pembahasan :
- Pengantar
- hukum agraria sebelum berlakunya UUPA
- usaha-usaha pembahasan dibidang agraria setelah proklamasi kemerdekaan.
- sejarah pembentukan UUPA
- UUPA sebagai dasar pembentukan hukum agraria nasional
- hak-hak agraria
- hak atas tanah
- ketentuan pokok pengaruh hak-hak atas tanah
- ketentuan pokok pendaftaran tanah
- ketentuan pokok tata guna tanah
- ketentuan pokok land reform.
Sebelum mempelajari tentang hukum agraria maka perlu kiranya kita melihat
sejarah bahwa hukum agraria sangat penting bagi masyarakat untuk pengaturan
tentang hukum – hukum kebendaan yang diatur pada buku II BW. Adapun hukum
kebendaan yang mengatur tentang hak-hak kebendaan yang merupakan hak-hak
absolut. Dengan demikian untuk pengaturan-pengaturan yang lebih optimal maka
sangat perlu suatu pengaturan melalui suatu UU yaitu UUPA. UUPA yang
diundangkan melalui UU no.5 tahun 1960 telah menghapus sebagian besar
ketentuan-ketentuan tentang kebendaan sebagaimana disebut diatas yaitu buku II
BW.
Dengan demikian jelas seklai bahwa yang dimaksud hukum agraria adalah suatu
aturan yang mengatur tentang hak-hak kebendaan seseorang/masyarakat negara yang
menyangkut tentang bumi, air, ruang angkasa serta semuanya ini menyangkut
tentang definisi secara umum.
SEJARAH LAHIRNYA UUPA NO. 5 TAHUN 1960 & ZAMAN KOLONIAL
Sebagaimana diundangkannya UUPA no.5 tahun 1960 banyak yang harus kita
simak tentang sejarah-sejarah hukum di Indonesia maupun diluar negeri
diantaranya adalah zaman Hindia Belanda.
Sebagai negara jajahan belanda di Indonesia berlaku azas corcodanti
(penyetaraan) dengan hukum adat di Indonesia yaitu dengan suatu cara yaitu
kodifikasi dan unifikasi tahun 1848.
Diantara UU yang
telah dikodifikasi adalah sbb :
1. Wet boek van
Strafrecht (KUHP)
2. Bugerlijk wetboek
(BW) kecuali hukum tanah menjadi UU hukum Agraria
3. wet boek van koop
handel (KUHD).
Azas korkodansi, kodifikasi dan unifikasi mewarnai hukum Indonesia sekarang
paham liberalisme dan individualisme menjadi jiwa pembentukan hukum belanda.
Misal :
- negara berhak mengatur tentang hak-hak kebendaan
seseorang, menggunakan hak-hak tanpa batas dengan demikian tugas-tugas negara
menjaga agar hak-hak individu tidak dirusak orang lain.
- Toesteming atau perjanjian persetujuan yang diadakan memikat kedua pihak atau
persetujuan para pihak didalamnya adalah hak-hak para pihak tersebut (Liberal).
Dalam hukum belanda agama dan adat terletak dibelakang dan tidak
disinggung-singgung dalam pembentukan hukum artinya agama dan adat tidak
termasuk dalam koridor hukum negara sehingga hukum-hukum yang diproduk lebih
mengutamakan kepada unsur-unsur rasio pembuat UU tersebut.
SEMINAR SEJARAH HUKUM PADA TANGGAL 05 APRIL 1975
Menteri kehakiman dalam seminar sejarah hukum pada tanggal 05 April 1975
menyatakan bahwa perbincangan sejarah hukum mempunyai arti penting dalam rangka
pembinaan hukum nasional karena usaha pembinaan hukum tidak saja memerlukan
bahan-bahan tentang perkembangan hukum masa kininakan tetapi juga bahan-bahan
mengenai perkembangan hukum masa lalu.
Melalui sejarah hukum kita akan mampu menjajaki berbagai aspek hukum
Indonesia pada masa dulu, hal mana akan dapat memberikan bantuan kepada kita
untuk memahami kaedah-kaedah serta institusi hukum yang ada dewasa ini dalam
masyarakat bangsa indonesia mulai penelitian sejarah hukum dapat diketahui
tentang adanya kemungkinan lembaga-lembaga hukum yang tidak diperlukan lagi atau
masih perlu dikembangkan dalam membina hukum nasional.misal dalam hukum agraria
kita mengenal domein verklaring artinya semua tanah yang tidak bisa dibuktikan
haknya adalah tanah negara.
-eigendom adalah hak milik
-eigenaar adalah si pemilik / orangnya
- HGB adalah opstal
- HGU adalah Erfpacht
Politik hukum agraria berkembang tahun 1960 sampai dengan 1998 pemerintah
dalam melaksanakannya ambifalen (mendua) karena dalam UUPA No. 3:
1. Mengakui tanah
ulayat sepanjang menurut kenyataan masih ada kalau tidak bertentangan dengan UU
yang lebih tinggi.
2. UUPA disusun
berdasar hukum adat namun tidak dinyatakan hukum mana yang dipakai.
Untuk mengetahui proses perkembangan pengetahuan sistem hukum di Indonesia
kiranya perlu dikenal sistem hukum yang lama dan dengan mengetahui sistem hukum
yang lama tersebut kita akan dapat menganalisa seberapa jauh sistem ini
berpengaruh pada perkembangan hukum baru.
- Ius constitutum yaitu hukum yang berlaku sekarang (hk. Positif)
- Ius constituentum yaitu hukum yang dicita-citakan
Prof. DR. Soepomo mengemukakan 13
azas penting dan tatanan hukum yang berlaku di Hindia belanda dulu diantaranya
adalah sbb :
1. azas dari BW dari
Hindia Belanda
2. azas hukum acara
perdata eropa
3. azas wet boek van
straaf recht (HAP)
4. azas hukum acara
pidana
5. azas hukum adat
materil
6. azas perdata laand
raad (pengadilan negeri)
7. acara schap
geracht en distrik
8. acara perdata
pengadilan pribumi didaerah luar jawa dan madura
9. acara perdata pengadilan
daerah swapraja
10. acara pidana laand
raad
11. acara pidana laand
gerecht
12. acara pidana
pengadilan pribumi
13. acara pidana
pengadilan swapraja
BW di Indonesia berazaskan kepada azas korkodansi dan BW belanda mencontoh
kepada code civil de prancis sedangkan BW Hindia Belanda berlaku tahun 1848
pada mulanya tidak berubah namun perkembangan hukum semenjak satu abad menuju
kearah partisipasi masyarakat dan hukum melalui yurisprudensi akhirnya terjadi
perubahan.
Contoh : azas penggunaan kekuasaan sewenang-wenang (a bous of
power/ misbruik van recht) diubah menjadi emansipasi wanita di cabut.
Hukum acara perdata di Indonesia pada dasarnya sama dengan hukum acara
perdata belanda hukum acara perdata belanda meneladani code prosedur civil tetapi
kemudian hukum acara perdata mengalami beberapa kali peninjauan. Perlu kita
ketahui azas utama hukum acara perdata adalah sbb :
1. Terbuka untuk
umum,semua keputusan selalu diucapkan dalam sidang terbuka atas dasar ketentuan
UU
2. Hakim harus bersifat
pasif
3. semua acara hampir
semuanya tertulis
4. pakai perantara
atau pengacara
untuk azas 1,2,3,4 dipakai pada Hogeraaf recht (MA) dan raad van justitie
(Petinggi) sedangkan untuk pribumi resident recht.
Azas-azas beracara
adalah :
1. Beracara dengan
lisan
2. Hakim bersifat
aktif
3. tidak perlu
pengacara
KUHP Belanda
disusun berdasarkan culture barat Individualisme dan liberalisme. Jiwa KUHP
kurang sesuai dengan culture budaya dan agama yang dianut di Indonesia :
Ada 5 azas penting
dari KUHP :
1. Yang menjadi
subjek dari tindak pidana adalah orang
2. tindak pidana yang
terdiri dari kejahatan dan pelanggaran.
Kejahatan diatur dalam Buku II BW sedangkan
oelanggaran dalm buku III. Antara kejahatan dan pelanggaran secara kualitatif
tidak ada perbedaan sedangkan secara kuantitatif ada perbedaan.
Misal : tindak pidana ringan digolongkan
pelanggaran sedangkan tindak pidana berat digolongkan kejahatan.
3. Tidak ada suatu
hukuman kalau tidak ada UU yang mengaturnya nolum delictum pune sine
lege.
4. dikenal 4 sistem
hukum dalam WvS (Wet boek van Straafrecht) KUHP:
a.
Hukuman mati
b.
Hukuman penjara
c.
Hukuman kurungan
d.
Hukuman denda
5. Khusus untuk
Hindia belanda dikenal 3 hukuman tambahan :
a. Pencabutan hak –
hak tertentu
b. Perampasan barang
– barang tertentu
c. Diumumkan putusan
hakim
POLITIK HUKUM
PEMERINTAHAN TERHADAP
KEBIJAKSANAAN
HUKUM PERTANAHAN
1. Zaman Belanda
Pengaruh politik pertanahan terlihat dari tindakan / perbuatan yang
dilakukan pemerintah. Politik tersebut dimulai pada tahun 1830 (Perang Napoleon
di Eropa) diantara politik yang diterapkan oleh bangsa-bangsa Barat antara lain
:
a. Cultuure stelsel
b. Agrarische Wet
c. Agrarische Besluit
Dalam perkembangannya antara Agrarische Wet dan Agrarische
Besluit ada yang mengatakan domein verklaring.
yang dikatakan Domein verklaring adalah dijelaskan pada pasal
1 Agrarische wet menyebutkan tanah yang tidak bisa dibuktikan atas kepemilikan
(Eigendom/eigenaar).
Oleh karena itu UU atau Agrarische wet yang dikeluarkan oleh bangsa belanda
tersebut hukum belanda tersebut berisi ketentuan – ketentuan yang sangat
berpihak kepada kepentingan – kepentingan perusahaan swasta swasta. Namun ada
juga melindungi kepentingan orang Indonesia asli tapi melalui beberapa cara :
1. Memberi kesempatan
bagi orang Indonesia asli untuk memperoleh hak eigendom agraris atas tanahnya
sehingga dapat dihipotikkan.
2. memperbolehkan
rakyat meyewakan tanah kepada orang asing untuk rakyat yang berekonomi lemah
mendapat perlindungan terhadap orang yang berekonomi kuat.
Secara global agrarische wet bertujuan memberikan kemungkinan kepada modal
asing untuk berkembang di Indonesia dengan hak erfracht (HGU) selama 75
tahun, tanah dengan hak opstal (HGB). Hak sewa, hak pinjam pakai.
Jadi jelas disini pemerintah belanda berwenang memberikan hak tersebut
adalah pemilik/eigenaar dan karenanya negara dinyatakan sebagai pemilik tanah.
Overspel = anak diluar nikah
Pasal 21,22,96 ---Ã UUPA ttg orang asing tidak boleh mempunyai hak milik.
Domein verklaring, dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak perlu
membuktikan haknya dalam proses perkara sebaliknya pihak lainlah yang selalu
membuktikan haknya itu. Jadi nyata ketentuan yang selalu membebankan kewajiban
pembuktian kepada rakyat itu, artinya tidak mempunyai keadilan. Oleh karena itu
pernyataan domein verklaring tahun 1870 tidak dapat dipertahankan lagi dalm
NKRI. Sesungguhnya dalam pembelian hak atas tanah negara, negara tidak perlu
bertindak sebagai eigenaar (kepemilikan) cukup bila UU memberi wewenang
kepadanya untuk berbuat sesuatu kepada penguasa atau overheid, UUPA berpendapat
sama dengan ini terlihat dalam pendirian bahwa untuk mencapai apa yang
ditentukan didalam pasal 33 UUD 1945 tidak ada tempatnya negara bertindak
sebagai pemilik tanah dan adalah lebih tepat jika negara bertindak sebagao
badan penguasa begitu juga dalam larangan pengasingan hak atas tanah ditegaskan
dalam Stb. 1875 Jo no. 179 menegaskan segala perjanjian yang bertujuan
penyerahan atas tanah maka dilakukan atas kesepakatan para pihak tapi dalam
kenyataannya Belanda melakukan pelanggaran (wanprestasi) dengan demikian sangat
jelas sekali politik hukum agraria yang pernah diterapkan di indonesia jelas
tidak memihak kepada rakyat tetapi sangat menguntungkan kepada perusahaan –
perusahaan swasta belanda yang ada di Indonesia pada saat itu. Oleh karena itu
setelah 17 Agustus 1945 pemerintah di indonesia berusaha merobah sestem hukum
agraria belanda dengan menyesuaikan dari hukum negeri sendiri. Usaha ini baru
berhasil dengan keluarnya UU no. 5 tahun 1960 artinya setelah 15 tahun
indonesia merdeka dalam pasal 2 dijelaskan bahwa atas dasar ketentuan dalam
pasal 33 ayat 3 UUD 1945 sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut bumi, air
dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi seluruh rakyat
indonesia.
Dengan demikian
kesimpulan tentang hukum pertanahan :
- Tanah-tanah ulayat (rakyat) menimbulkan masalah yang berkepanjangan dengan tanah yang telah di HGU kan.
- Maksud yang terkandung dalam pasal 33 ayat 3 banyak yang telah disalah gunakan artinya oleh pemerintah.
- Politik pertanahan belanda sampai sekarang ± ¼ abad tidak menjamin hak-hak rakyat atas tanah malah menghilang lenyapkan hak atas tanah.
- Kiranya perlu ada suatu politikal will (kebijakan) dari pemerintah terhadap eksistensi tanah adat yang dituangkan dalam peraturan per UU an dan dihilangkan apa yang disebut security approach.
- UUPA no.5 tahun 1960 dibandingkan dengan UU kehutanan No. 5 tahun 1967 pada UUPA mengakui adanya hak rakyat sedangkan UU kehutanan tidak megakui yang hanya diakui adalah 2 hutan :
1.
Hutan milik
2.
Hutan negara
Penjabaran UUPA
yaitu pada PP no. 10 tahun 1961, PP 24 1997 mengenal adanya pendaftaran tanah
sementara UU kehutanan tidak mengakuinya.
- Pemerintah daerah sudah saatnya membuat PERDA untuk mempertahankan hak-hak rakyat (Permenag) UU no. 5 tahun 1999 untuk menyelesaikan tanah – tanah ulayat baik ditingkat propinsi maupun ditingkat kota. Oleh karena itu melakukan pendaftaran tanah perlu pedoman umum untuk penggunaan tanah :
- PMDN No. 15 tahun 1975 didalamnya termasuk pembebasan hak atas tanah.
- Keppres No. 5 tahun 1993 tentang pembebasan tanah dan penyerahan hak atas tanah.
PERKEMBANGAN PASCA
KOLONIAL
Pada tahun 1950 arah kebijakan kolonial belanda sudah dikatakan berobah
dari tahun sebelumnya karena para ahli hukum kita mulai belajar di negara
belanda itu sendiri, itupun berbagai cara dilakukan oleh bangsa belanda untuk
menarik ahli-ahli hukum indonesia agar mau menambah ilmu pengetahuan di negara
belanda walaupun dengan secara halus dan lain sebagainya, karena politik
belanda sebelumnya datang ke Indonesia bukan untuk menjajah namun belanda
datang ke Indonesia adalah untuk berdagang, namun pada tahun 1602 terjadi
persaingan dagang antara Inggris, perancis dan jepang tapi karena belanda
duluan yang menjajah di indonesia maka belandalah menerobos ke dalaam sistem
tatanan hidup bermasyarakat. Sehingga VOC yang pada mulanya sebagai serikat
dagang akhirnya bermaksud untuk yang lainnya, diantara tugas VOC itu ialah :
1. Mengurus anak – anak
negeri
Untuk itu belanda
membuat KUHD yang kita kenal dengan WvK (Wet boek van Kopenhandle). WvK
dibentuk tidak lain adalah untuk kepentingan dagang di indonesia, maka politik
dagang yang muncul berobah menjadi politik etik, karena:
a. Balas jasa bertujuan
agar dapat mengeruk keuntungan belanda membuat bangunan untuk bumiputra sebagai
uang pelicin.
b. Karena dilihat
dari segi politik hukum. Dengan demikian pula dapat kita lihat untuk
melancarkan program – program kolonial maka tahun 1929 dibuatlah adat recht
oleh Van vollen Hoven. Sedangkan pada tahun 1931 dibuat KUHP berlaku untuk
orang eropa daratan, tahun 1938 dibuat KUHP untuk orang belanda sedangkan tahun
1948 dibuat KUHP untuk orang indonesia.
Kalau kita
hubungkan Domein verklaring dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 3 dan peraturan
menteri agraria no. 5 tahun 1999 menjelaskan :
1. Pelepasan hak atas
tanah, UU no. 20 /1961
2. Penyerahan hak
atas tanah, Keppres no. 55 / 1963
3. Pencabutan hak
atas tanah, pasal 18 UUPA sedangkan untuk tanah – tanah rakyat yang dikuasai
oleh pemerintah harus di HGU- kan dan tanah – tanah tersebut bisa dikembalikan
kepada rakyat berdasarkan pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
A. SISTEMATIKA UU NO. 5 TAHUN 1960
Sistematika UU no.
5 tahun 1960 adalah :
- Dasar – dasar dan ketentuan pokok terdiri dari 4 bab, yaitu pasal 1 s/d 58 terdiri dari bagian 1 s/d 12.
- Ketentuan – ketentuan konversi pasal I s/d IX.
- Tentang perubahan susunan pemerintahan desa yang akan diatur sendiri.
- Tentang hak dan wewenang ata bumi dan air dari swa praja dan bekas swa praja. Beralih kepada negara dan diatur dengan peraturan pemerintah.
- Nama UUPA, dengan berlakunya UUPA maka hukum tanah secara tertulis sedangkan hukum adat akan menjadi hukum yang melengkapi.
B. MASA SEJAK PROKLAMASI S/D UU NO. 5 / 1960 DI UNDANGKAN
Terdapat sejumlah
UU antara lain :
- UU no. 13/1946 yaitu penghapusan hak istimewa dari desa Verdikan di Banyumas.
- UU. Bo. 13/1948 yang mencabut VGM yang berlaku di Surakarta dan yogyakarta.
- UU. No. 5/1950 yang merupakan pelengkap UU no. 13/1948 menjelaskan hak konversi dihapus secara tuntas :
a. Tanah untuk
perkebunan dataran rendah dikembalikan kepada desa
b. Tanah untuk
perkebunan pegunungan menjadi tanah negara.
- UU. No. 1/1958 tentang penghapusan tanah partikulir kepada pemiliknya dikenakan ganti rugi.
Yang dimaksud
tanah partikulir adalah tanah eigendom dengan hak istimewa yang bersifat
kenegaraan (land heerlijke rechten).
- PP no. 18/1958 sebagai pelaksana UU no. 1/1958.
- UU no. 6/1952 yang mengganti UU no. 6/1951, tentang sewa tanah untuk menanam tebu.
- UU no. 24/1954 tentang perbuatan pemindahan hak atas tanah yang timbul pada hukum eropa harus seizin menteri kehakiman dan UU no. 76/1957 wewenang menteri kehakiman dialihkan ke menteri agraria.
- UU no. 28/1956 tentang pengawasan terhadap pemindahan hak atas perkebunan.
- UU no. 29/1956 tentang peraturan tindakan atas perkebunan.
- UU no. 78/1957 tentang perubahan CANON, CIJSN, yang dimaksud dengan CANON adalah uang yang wajib dibayarkan oleh pemegang Erfprach (HGB) setiap tahun kepada negara., sedangkan CIJSN adalah uang wajib dibayarkan oleh hak pemegang konsensi perkebunan besar.
- UU no. 51 PrP 1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya ada ancaman tanah yang tidak selalu dibenarkan.
C. UUPA NO.5/1960 TERTANGGAL 24 SEPTEMBER 1960
- Hukum tanah nasional berdasarkan kepada hukum adat
- Hukum adat adalah sumber hukum tanah nasional
- Hukum adat adalah sumber dari asas – asas konsep serta lembaga hukum tanah nasional
- Hukum adat yang dimaksud adalah hukum adat indonesia.
ASAS – ASAS HUKUM
ADAT
- Asas religius
- Asas kebangsaan
- Asas demokrasi
- Asas kemasyarakatan, pemerataan dan keadilan sosial
- Asas pengguna dan pemilihan secara berencana
- Asas pemindahan horizontal, antara tanah dengan tanaman serta bangunan diatasnya.
KONSEPSI HUKUM
ADAT
a. Komuna listik
religius dengan memungkinkan penguasa tanah secara individual dengan hak-hak
atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung unsur-unsur kebersamaan.
b. Komunalistik hak
ulayat dari masyarakat hukum adat
c. Masyarakat hukum
adat bersifat :
- teritorial
- geneologis
d. Individual
terhadap penguasaan atas tanah oleh perorangan untuk memenuhi pribadi dan
keluarga.
HAK ULAYAT
- Bersifat hukum perdata
Artinya hak kepercayaan bersama atas tanah
- Beraspek hukum publik artinya mengandung kewajiban mengelola, mengatur dengan memperhatikan penguasaan, pemeliharaan dan peruntukkannya
HAK ULAYAT DALAM
UUPA
- Eksistensi atau keberadaan hak ulayat diakui sepanjang kenyataan masih ada
- Didaerah yang ulayatnya sudah lengkap tidak akan dihidupkan lagi.
- Didaerah yang tidak mengenal adanya hak ulayat maka tidak akan diarahkan kepada masyarakat tersebut.
PELAKSANAAN HAK
ULAYAT PASAL 3 MENJELASKAN
- Harus sesuai dengan kepentingan nasional dan negara
- Berdasarkan atas persatuan bangsa
- Pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan UU yang lebih tinggi.
SISTIM HUKUM ADAT
DALAM HUKUM TANAH
Ketentuan hukum
tanah tertulis disusun atau sistemnya adalah sistem hukum adat. Sistem hak-hak
atas penjualan atas tanah :
- Hak-hak bangsa indonesia sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan beraspek perdata dan publik.
- Hak penguasaan dari negara yang beraspek hukum publik, pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain dalam bentuk hak pengelolaan.
- Hak pengelolaam individual :
- Hak-hak atas tanah
- Wakaf, artinya hak individual menjadi hak milik.
- Hak jaminan atas tanah yang disebut dengan hak tanggungan.
LEMBAGA-LEMBAGA
YANG TIDAK DIKENAL DALAM HUKUM ADAT
1. Pendaftaran tanah,
dibuat buku tanah tempat didaftarkannya hak-hak atas tanah.
Adanya setifikat
sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah.
2. Prosedur pembuatan
sertifikat dari awal sampai akhir.
Alas hak :
- Surat jual beli
- Batas sepadan
- PBB
- Wakaf
- Hibah
Alas hak adalah
segala sesuatu yang menyangkut tentang keberadaan tanah yang merupakan surat –
surat untuk pendaftaran tanah.
Untuk menjamin kepastian hukum dari hak – hak atas tanah UUPA mengharuskan
pemerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah diseluruh indonesia. Menurut
peraturan pemerintah no. 24 tahun 1997 pendaftaran tanah dilaksanakan
berdasarkan azas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka (lihat pasal
2 PP no. 24 tahun 1997).
Azas – azas yang dimaksud dari PP no. 24 tahun 1997 adalah sebagai berikut
:
1. Azas sederhana
Dimaksudkan agar
ketentuan – ketentuan pokok dan prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh
pihak – pihak yang berkepentingan terutama pemegang hak atas tanah.
2. Azas aman
Bahwa pendaftaran
tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat
memberikan jaminan kepastian hukum sesuai dengan tujuan.
3. Azas terjangkau
Dimaksudkan agar
pihak – pihak yang memerlukan khususnya dapat memperhatikan kebutuhan da
keamanan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka
pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh pihak – pihak yang memerlukannya.
4. Azas Mutakhir
Kelengkapan yang
memadai dalam melaksanakan dan kesinambungan dalam pemeliharaan datanya yang
harus menunjukkan keadaan data – data yang mutakhir sehingga data – data
tersebut dapat sebagai bukti apabila terjadi permasalahan – permasalahn
dikemudian hari.
5. Azas terbuka
TUJUAN PENDAFTARAN
TANAH
Pasal 19 ayat 1 UUPA sebagaimana dijelaskan diatas tadi bahwa setiap tanah
yang ada diseluruh wilayah indonesia diperintahkan untuk didatarkan ke BPN hal
ini dipertegas pada pasal 3 PP no. 24 tahun 1997 bahwa pendaftaran tanah
bertujuan sbb :
- Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas suatu bidang tanah, disamping itu agar dapat membuktikannya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
- Untuk menyediakan informasi kepada pihak – pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan, dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai tanah – tanah yang ada.
- Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan
SISTEM PENDAFTARAN
TANAH
Untuk mewujudkan tujuan pendaftaran tanah yaitu untuk menjamin kepastian
hukum maka didalam penyelenggaraan pendaftaran tanah dikenal 2 sistem
pendaftaran tanah :
- Sistem Positif
- Sistem Negatif
Menurut WANTJIK
SALEH K, mengemukakan :
- Yang dimaksud dengan sistem positif
Adalah pada sistem
ini apa yang tercantum didalam buku pendaftaran tanah dan surat – surat tanda
bukti yang dikeluarkan pada pendaftaran tanah merupakan alat pembuktian yang
mutlak. Surat – surat tanda bukti hak itu berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat sehingga keterangan – keterangan yang tercantum didalamnya mempunyai
kekuatan yang harus diterima oleh hakim sebagai keterangan yang benar sepenjang
tidak ada alat pembuktian lain yang membuktikan sebaliknya.
- Sistem Negatif
Pada saat ini apa
yang tercantum dalam buku pendaftaran tanah dan surat – surat bukti tanah
tindakan merupakan alat pembuktian yang mutlak apabila keterangan dari
pendaftaran tanah ada yang tidak benar maka dapat diadakan perubahan pembetulan
seperlunya oleh karena itu jaminan perlindungan yang diberikan oleh sistem
negatif tidaklah bersifat mutlak.
Seperti pada sistem positif, UUPA tidaklah menganut sistem positif karena
sistem ini dalam pelaksanaannya memerlukan ketelitian yang sangat tinggi tenaga
dan biaya yang banyak. Oleh karena itu memerintahkan agar pendaftaran tanah
tidak menggunakan sistem publikasi positif yang kebenaran datanya dijamin ole
negara melainkan menggunakan sistem publikasi negatif sedangkan kelemahan
sistem publikasi negatif adalah pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang
hak dalam buku tanah dan sertifikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari
pihak lain yang merasa mempunyai tanah itu.
Menurut keterangan pemerintah no. 24 tahun 1997 terutama pasal 32 ayat 2
sistem publikasi negatif negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan.
Namun apabila dihubungkan dengan pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA bahwa surat tanda
bukti yang diterbitkan berlaku sebagai alat bukti yang kuat hal ini diperkuat
lagi oleh pasal 23,32 & 38 UUPA, yang menjelaskan bahwa pendaftaran sebagai
peristiwa hukum merupakan alat pembuktian yang kuat.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendaftaran tanah di indonesia tidak
menganut sistem negatif karena hak ini diungkapkan dengan jelas oleh pasal 32
ayat 2 PP no. 24 tahun 1997. menurut pasal 1 angka 20 PP. No. 24 tahun 1997.,
menjelaskan bahwa sertifikat itu adalah surat tanah bukti hak sebagai alat
pembuktian yang kuat untuk hak atas tanah. Hak pengelolaan, tanah wakaf, hak
milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing – masing sudah
dibukukan dalam buku tanah yang ersangkutan.
Menurut pasal 32 ayat 1 PP. No. 24 tahun 1997 menjelaskan sertifikat
merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang luas
mengenai data – data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya sepanjang
data fisik dan data yuridis sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku
tanah yang bersangkutan.
MACAM – MACAM SERTIFIKAT
Ada 3 macam yaitu
:
1. Seritifikat hak atas tanah
Yaitu surat tanda bukti
sebagai alat pembuktian yang kuat yang diterbitkan atau dikeluarkan oleh kantor
pertanahan kabupaten / kota tempat dimana letak tanah tersebut.
2. Sertifikat hak tanggungan
Yaitu suatu surat tanda
bukti adanya hak tanggungan yang diterbitkan oleh kantor pertanahan nasional
sesuai dengan peraturan per UU an.
Sertifikat hak tanggungan
ini diatur dalam UU no. 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah beserta
benda – benda yang berkaitan dengan tanah. Sertifikat hak tanggungan mempunyai
kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan serta telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai GROSSE ACTE. Hipotik
sepanjang mengenai hak atas tanah.
3. Serifikat hak milik atas satuan rumah susun
Yaitu surat tanda bukti
hak pemilikan individual atas satuan rumah susun yang meliputi dan merupakan
kesatuan yang tidak terpisahkan dengan hak bersama atas apa disebut bagian
bersama benda bersama dan tanah bersama, tempat bangunan itu didirikan yang
diterbitkan oleh kantor pertanahan nasional
TANAH YANG
DISERTIFIKATKAN
Terdiri dari 2
macam, yaitu :
1. Tanah negara
Yaitu tanah yang dikuasai
langsung oleh negara yaitu tanah – tanah yang bukan tanah menurut UUPA bukan
tanah ulayat, bukan tanah kaum, bukan tanah hak pengelolaan dan bukan tanah
kawasan hutan.
2. Tanah milik adat
Yaitu
tanah milik yang diatur menurut hukum adat atau hak atas tanah yang lahir
berdasarkan proses adat setempat.
TANAH NEGARA
Tanah negara yang diatas permohonannya kepada pemohon (Orang atau badan
hukum) telah diberikan sesuatu hak berdasarkan SK yang berwenang untuk
mendapatkan sertifikat tersebut SK harus didaftarkan ke kantor pertanahan
Kabupaten / kota.
PROSES / TATA CARA
UNTUK MEMPEROLEH SERTIFIKAT
a. Penerimaan hak, membawa SK tersebut ke kantor pertanahan
dn disana akan dilakukan tahap – tahap :
1. Pembayaran biaya tercantum dalam SK kebendaharawan khusus
penerima.
2. Pembayaran biaya pendaftaran tanah untuk pertama kali.
3. Pendaftaran surat pendaftaran tersebut lengkap dengan
bukti – bukti pembayaran dan diserahkan diloket yang ditentukan.
b. Berdasarkan SK dan bukti pembayaran itu kantor pertanahan
membuat sertifikat tanah, kemudian menyerahkan e si pemilik atau pemegang
haknya.
TANAH MILIK ADAT
Tanah bekas hak milik adat yang lahir berdasarkan proses adat setempat.
Misal hak ganggam bauntuak, hak yayasan, andar beni, grand sultan yang sejak
tanggal 24 september 1960 di konversikan menjadi hak milik namun belum
terdaftar.
Syarat pendaftarannya mengajukan permohonan keapda kepala BPN dengan
melampirkan :
- Bukti kepemilikan tanah/penguasaan tanah secara tertulis.
- Bukti lain yang dilengkapi persyaratan yang bersangkutan berupa pernyataan dan keterangan 2 orang saksi.
- Bukti penguasaan secara fisik atas sebidang tanah yang bersangkutan selam 20 tahun yang dituangkan dalam surat pernyataan penguasaan itu yang dilakukan dengan itikad baik dan tidak perah diganggu gugat atau tidak dalam keadaan sengketa.
- Kesaksian dari kepala desa / lurah
- Bukti pelunasan surat pemberitahuan pajak bumi dan bangunan terakhir
Berdasarkan
permohonan tersebut kepala BPN :
- Melakukan pemeriksaan data fisik (Penetapan dan pemasangan tanda batasn, pengukuran, pemetaan) oleh petugas yang ditunjuk.
- Melakukan pemeriksaan data yuridis (Riwayat kepemilikan tanah) oleh panitia pemeriksaan tanah yang ditunjuk.
- Mengadakan pengumuman data fisik dan yuridis selama 60 hari dikantor pertanahan, kantor wali nagari, kantor lurah dan tempat – tempat umum.
- Melaksanakan penegasan konversi atau pengakuan hak
- Pembukuan hak
- Menerbitkan sertifikat sebagai bukti hak.
Azas dan sistem pendaftaran tanah sebagaimana diterangkan dalam pasal 19
UUPA mengenal beberapa ciri – ciri khusus diantaranya adalah :
- TORREN SISTEM
Sistem pendaftaran
tanah di indonesia setelah berlakunya UUPA no. 5 tahun 1960ndan PP no. 10 tahun
1961, mempergunakan sistem TORREN. Sistem torren ini juga dipergunakan diluar
indonesia khususnya asia tenggara seperti malaysia, singapura, philipana dan
juga termasuk australia serta bagian barat USA. Sebelum kita mempergunakan yang
dikembangkan oleh Belanda dalam pengeluaran dari bukti – bukti atas tanah.
(Sebelum berlakunya UUPA sangat tidak efisien karena disamping adanya kepala
kantor juga adanya pejabat balik nama).
Sistem Torren ini
selain sederhana, efisien dan murah dan selalu dapat diteliti pada akta
pejabatnya dan siapa – siapasaja yang bertanda tangan pada sertifikat haka tas
tanahnya apabila terjadi mutasi maka nama yang sebelumnya dicoret dengan tinta
halus sehingga masih terbaca dan pada bagian bawahnya tertulis nama pemilik
yang baru dan disertai dasar hukumnya.
- AZAS NEGATIVE
Pendaftaran
menurut PP No. 10 tahun 1961 menganut azas negatif, artinya belum tentu seorang
yang tertulis namanya di sertifikat adalah mutlak milik dia sendiri oleh karena
itu pasal 23 ayat 2 dan pasal 32 ayat 2 serta pasal 38 ayat 2 bahwa pendaftaran
itu merupakan alat pembuktian yang kuat dan tidak tertulis sebagai bukti satu –
satunya alat pembuktian.
- AZAS PUBLISITAS
Pendaftaran ini
bersifat umum dan terbuka dan berbeda dengan perbankan yang terdapat
kerahasiaan oleh karena itu setiap orang berhak untuk meminta informasi dari
kantor pendaftaran tanah demikian juga berhak untuk meminta, suatu surat
keterangan pendaftaran tanah yang berisikan jenis – jenis hak, luas, lokasi
dalam keadaan sita dan dalam perkara atau lebih tepat dinamakan surat
keterangan informasi tanah.
- AZAS SPESIALITAS
Bahwa pendaftaran
tanah jelas dan diketahui lokasinya sehingga peranan dari surat ukur adalah
memperjelas lokasi dari tanah tersebut.
- AZAS RECHTKADESTER
Seperti sudah
disebutkan sebelumnya bahwa pendaftaran tanah hanya bertujuan demi untuk
pendaftaran saja, bukan sebagai tagihan pajak ataupun untuk keperluan lain –
lainnya dengan digalakannya PBB ada tendensi bahwa pendaftaran tanah
akanterkait pada PBB.
- AZAS KEPASTIAN HUKUM
Maksudnya adalah
sebagaimana tersebut ayat 1 pasal 19 UUPA adalah demi kepastian hukum dari hak
– hak atas tanah tersebut.
- AZAS PEMASTIAN LEMBAGA
Bahwa sesuai
dengan PP no. 10 tahun 1961 maka timbullah lembaga pejabat pembuat akte tanah
(PPAT), sebagai satu-satunya pejabat yang berwenang untuk membuat akta – akta
peralihan, pendirian, hak – hak baru dan pengikatan tanah sebagai jaminan, dan
kemudian ada pejabat satu – satunya secara khusus untuk melakukan pendaftaran
tanah yaitu BPN.
Pasal 19 ayat 3
UUPA pendaftaran itu mahal sekali anggarannya sehingga tergantung anggaran yang
tersedia, pendaftaran kepegawaian dan sarana maupun prasarana yang diperlukan
sehingga diprioritaskan didaerah tertentu terutama yang mempunyai lalu lintas
perdagangan yang tinggi menurut pertimbangan menteri yang bersangkutan dan
organisasi yang ada sungguhpun pada waktu itu diseluruh wilayah indonesia
ditiap – tiap daerah, kabupaten / kota sudah ada kantor – kantor agraria
dan pertanahan. Ayat 4 dari pasal 19 UUPA memberikan kejelasan tentang
kemungkinan rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya – biaya
tersebut dan kemungkinan dengan pendaftaran yang disubsidi seperti PRONA
(Proyek Operasi Nasional Agraria).
HAK MILIK
Pasal 20 UU no. 5
Tahun 1960nmenjelaskan :
Yang dimaksud dengan
hak milik adalah hak turun temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai
orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6 UU No. 5 Tahun 1960.
Selanjutnya hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain sesuai
dengan memori penjelasan UU no. 5 tahun 1960 bahwa pemberian sifat terkuat dan
terpenuh tidak berarti, bahwa hak itu merupakan hak yang mutlak tidak terbatas
dan tidak diganggu gugat sebagai hak eigendom menurut pengertian yang asli.
Sifat yang demikian akan bertentangan dengan sifat-sifat hukum adat dan fungsi
sosial dari tiap – tiap hak.
Kata – kata
terkuat dan terpenuh gunanya untuk membedakan hak guna usaha dan hak guna
bangunan dan hak – hak pakai ainnya. Dalam pembicaraan land reform sudah
dijelaskan, bahwa GBHN tahun 1983 dan 1988 mengakui bahwa perorangan berhak
mempunyai hak milik asalkan tidak bertentangan dengan fungsi sosial. Demikian
pula yang dimaksud dengan hak milik yaitu hak turun temurun berarti hak itu
dapat diwariskan kepada orang lain.
Bahwa hak milik
dalam UUPA tidak sama dengan hak eigendom yang kita kenal dalam UU hukum
perdata disini tidak ada kemutlakan dari hak-hak tersebut sebagaimana terlukis
pada pasal 570 BW sehingga sangat kelirulah jika kita melihat hak milik itu
dari kacamata BW tersebut. Luas hak milik juga meliputi tubuh bumi, air dan
ruang angkasa yang ada diatasnya.
Sebagai suatu
penjelmaan dari suatu ciri-ciri hukum adat yang menjadi dasar dari hukum
agraria nasional. Mengenai pertambangan ditubuh bumi diperlukan surat izin
khusus yang dinamakan kuasa pertambangan pasal 15 UU no. 11 tahun 1967 jadi
dengn demikian sungguhpun hak milik meliputi tubuh bumi, maupun ruang angkasa,
hak milik itu dibatasi tidak meliputi wewenang untuk mengambil dari hasil tubuh
bumi tersebut. Yang tidak ada kaitannya dengan penggunaan tanah. Demikian pula
penggunaan ruang angkasa harus terkait dengan penggunaan tanahnya. Dari
ketentuan dari pasal 20 ini tentang hak milik dapat kita bagi menjadi 4 bagian
:
- Turun temurun
- Terkuat dan terpenuh
- Fungsi sosial
- Dapat beralih dan dialihkan
Bahwa pembatasan
mengenai hak ini, turun temurun, terkuat dan terpenuh dan berfungsi sosial
sudah dijelaskan dalam poin tersebut diatas sedangkan masalah keputusan
pemerintah untuk pemberian hak ddan luas diatur dalam PMDN (Peraturan menteri
dalam negeri) no. 6 tahun 1972 yang mengatur tentang wewenang untuk pemberian
hak milik tanah pada umumnya yaitu pada sampai 200 mtr2 adalah kewenangan dari
kepala kanwil BPN propinsi. Demikian pula tanah-tanah pertanian yang meliputi
luasnya 20.000 m2 merupakan wewnang BPN propinsi dan begitu juga pemberian hak
milik kepada transmigrasi sebesar 20.000 m2 juga diberikan kanwil BPN propinsi.
LAND REFORM
INDONESIA
- dalam arti luas keseluruhan program agraria reform.
- Dalam arti sempit meliputi perombakan mengenai pemilikan serta penguasaan tanah serta hubungan – hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah sedangkan tujuan land reform adalah mempertinggi taraf hidup dan penghasilan terutama bafi petani kecil dan petani penggarap tanah menuju masyarakat adil dan makmur dalam pemilikan ini juga diatur penguasaan tanah tanpa batas.
1. Pasal 7 melarang
pemilikan/penguasaan tanpa batas menguasai termasuk hak gadai, sewa, usaha bagi
hasil dsb.
2. Pasal 17 ayat 1
dan 2 perlu diatur luas masyarakat dan minimal tanah dimiliki dengan suatu hak
oleh suatu keluarga atau badan hukum
3. pasal 17 ayat 3
tanah kelebihan batas masyarakat akan dialihkan pemerintah dengan ganti rugi
kepada rakyat yang membutuhkan dalam hal ini ada 3 hal yang diatur :
v luas maksimal pemilikan tanah dan penguasaan tanah
pertanian.
v Luas minimal pemilikan tanah pertanian dan larangan
pemecah pemilikan tanah menjadi bagian yang kecil.
v Soal gadai tanah pertanian.
UU no. 6 PRT thn 1960 dijabarkan lebih lanjut dalam :
a. Kep. Menteri
agraria no. SK/978/KA/tahun 1960 tentang penegosan luas tanah maksimal
pertanian.
b. Instruktur bersama
menteri dalam negeri dan otonodo dan menteri agraria tahun 1961 No. SEKRA
9/1/12 tanah pertanian itu adalah :
1.
Tanah perkebunan
2.
tanah perikanan
3.
tanah pengembalaan ternak
4.
tanah belukar bekas ladang dan hutan
5. tanah semua tanah selain tanah pemukiman dan perusahaan.
SEJARAH
HUKUM AGRARIA DI INDONESIA
SEJARAH
HUKUM AGRARIA SEBELUM UUPA
Menurut Boedi Harsono dalam bukunya Hukum Agraria, menyebutkan ada
dua tongggak sejarah, yaitu perundangan Agrarische Wet tahun 1870.
Berlandaskan tonggak sejarah tersebut sejarah hukum agraria Indonesia dapat
dibagi dalam periodesisasi sebagai berikut :
- Masa sebelum kemerdekan tahun 1945
- Masa sebelum Agrarische (1870)
- Masa setelah Agrarische Wet , tahun 1870 sampai Proklamasi kemerdekaan).
- Masa kemerdekaan :
- Masa sebelum UUPA (Tahun 1945 sampai tahun 1960)
- Masa UUPA (Setelah terbitnya UU No. 5/1960) tentang ketentuan dasar pokok – pokok agraria tanggal 24 September 1960.
POLITIK AGRARIA KOLONIAL
Penjelasan umum UUPA, merumuskan bahwa hukum agraria lama yang berlaku
sebelum tahun 1960 dalam banyak hal, tidak merupakan alat penting untuk
membangun masyarakat yang adil dan makmur, bahkan merupakan penghambat
pencapaiannya, yang disebutkan karena :
- Hukum agraria lama sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi – sendi dari pemerintah jajahan, dan sebagian lainnya dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat didalam melaksanakan pembangunan nasional
- sebagai akibat dari politik pemerintah jajahan itu, hukum agraria lama bersifat dualisme, yaitu berlakunya peraturan – peraturan hukum adat disamping peraturan – peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum barat, yang akan menimbulkan pelbagai masalah antar golongan yang seba sulit juga tidak sesuai dengan cita – cita persatuan bangsa.
- Bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan tidak menjamin kepastian hukum seluruh rakyat Indonesia.
Hukum Agraria yang pernah berlaku di Indonesia adalah
:
- Agrarische Wet (Stb. 1870 : 55) yang termuat dalam pasal 51 Wet op de Staatsinrichting voor Nederlands Indie (Stb. 1925 : 479) dan ditentukan dari ayat – ayat pasal itu.
2.a. Algemeene Domein Verklaring tersebut dalam pasal 1 Agrarische
Besluit(Stb.1870 :118)
b. Speciale Domein Verklaring untuk Keresidenan Sumatra, Manado,
Zuider en Ooster afdeling van Borneo.
3. Koninklijke Besluit tanggal 16 April 1872 No. 29 (Stb. 1872:177)
dan peraturan pelaksanannya.
4. Buku II Kitab Undang – Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang
mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali
ketentuan – ketentuan mengenai hipotik yang masih berlaku pada mulia berlaku
undang – undang ini.
Sejarah hukum belanda perlu diingat bahwa setelah kerajaan belanda menjadi
Negara monarki konstitusional. Pemerintah di Hindia Belanda dalam menjalankan
tugas-tugasnya terkuat dalam bentuk Undang-Undang (Wet) yang dikenal
dengan RR (Regeling Reglement) tahun 1855 (Stb. 1855:2).
Politik agraria tercantum daam pasal 62 RR yang terdiri dari 3 ayat yang antara
lain menggariskan bahwa gubernur jenderal tidak boleh menjual tanah dan bahwa
gubernur jenderal dapat menyewakan tanah berdsarkan ketentuan ordonansi.
Tujuan dari Agrarische Wet adalah untuk memberi kemungkinan dan jaminan
kepada modal besar asing agar dapat berkembang di Indonesia, dengan pertama –
tama membuka kemungkinan untuk memperoleh tanah dengan hak erfpacht yang
berjangka waktu lama.
Agrarische Wet lahir atas desakan masyarakat pemilik modal
besar swasta, yang pada masa kultur stelsel (tanam paksa) sebelumnya
terbatas sekali kemungkinannya untuk berusaha dalam lapangan perkebunan besar.
Kesempatan yang ada sebelumnya hanyalah melalui sewa tanah, yang pada masa
tanam paksa, kemungkinan itu sesuai dengan politik monopoli pemerintah justru
ditutup.
DUALISME HUKUM AGRARIA
Sejak Hindia Belanda resmi menjadi jajahan Belanda tahun 1815, praktis kondisi
hukum khususnya hukum perdata sudah bersifat dualisme. Disamping hukum adat
yang merupakan hukum perdata bagi golongan penduduk pribumi, maka bagi golongan
penduduk penjajah Belanda, mereka perlakukan hukum perdata yang mereka bawa
dari negara asalnya.
Peraturan perundang – undangan di bidang perdata kemudian diperluas berlakunya
bagi golongan penduduk Timur Asing untuk sebagian kemudian seluruhnya khusus
bagi golongan penduduk Tionghoa dan selanjutnya sampai pula diperuntukkkan
untuk golongan penduduk pribumi baik melalui lembaga pernyataan berlaku atas
beberapa bagian hukum perdata tertentu ataupun melalui lembaga pernyataan
tunduk secara sukarela.
Karena peraturan – peraturan mengenai pertanahan, merupakan peraturan yang
terdapat pada Buku II KUH Perdata, disamping peraturan perundang – undangan
yang lain, maka kondisi dualistis itu terjadi juga pada bidang hukum agraria.
Berlakunya peraturan – peraturan hukum tanah bagi golongan penduduk eropa,
disamping hukum adat mengenai tanah bagi golongan penduduk pribumi.
LANDASAN FILSAFAT YANG BERLAINAN
Hukum perdata Barat demikian juga hukum tanahnya bertitik tolak dari
pengutamaan kepentingan pribadi (individualistis), sehingga pangkal dan pusat
pengaturan terletak pada eigendom – recht (hak eigendom) yaitu pemilikan
perorangan yang penuh dan mutlak, disamping domein verklaring atas pemilikan
tanah oleh negara.
Hukum adat demikian juga hukum adat tanahnya sebagai bagian terpenting dari
hukum adat, bertitik tolak dari pemungutan kepentingan masyarakat
(komunalistis) yang berakibat senantiasa mempertimbangkan antara kepentingan
umum dan kepentingan perorangan. Dalam hukum tanah adat, hak ulayat, yang
merupakan hak persekutuan hukum atas tanah merupakan pusat pengaturannya. Hak
perseorangan warga masyarakat adat, memperoleh izin dari penguasa adat. Apabila
warga tersebut terus menggarap bidang tanah termaksud secara efektif, maka
hubungan hak miliknya menjadi lebih intensif dan dapat turun temurun.
Tetapi apabila warga tersebut menghentikan kegiatan menggarapnya maka tanah
itu kembali ke dalam cakupan hak ulayat persekutuan hukumnya dan hak miliknya
melebur.
ANEKA RAGAM JENIS HAK ATAS TANAH
BW atau KUHP Perdata mengenal pelbagai jenis hak atas tanah sebagai barang tidak
bergerak, yaitu :
- Bezit (kedudukan berkuasa)
- Eigendom ( hak milik )
- Burenrecht (hak bertetangga = hak jiran )
- Herendiest (hak kerja rodi)
- Erfaienst baarheid (hak pengabdian tanah)
- Het regt van opstaal (hak numpang karang)
- Het erfpachtsregt (hak usaha)
- Grondrenten en tienden (bunga tanah dan hasil sepersepuluh)
- Het vrucht gebruik (hak pakai hasil)
- Het recht van gebruik en de bewoning (hak pakai dan hak mendiami).
Sedang hukum adat mengenal peristilahan yang lain sekali.
- Hak Persekutuan atas tanah ;
- Hak Ulayat
- Hak dari kelompok kekerabatan atau keluarga luas
- Hak perorangan atas tanah;
- Hak milik, hak yasan (inland bezitrecht)
- Hak wewenang pilih, hak kima cek, hak mendahulu (voorkeursrecht)
- Hak menikmati hasil (genotsrecht)
- Hak pakai (gebruiksrecht) dan hak menggarap/mengolah (ontginningsrecht)
- Hak imbalan jabatan (amblelijk profift recht)
- Hak wenang beli (naastingsrecht)
Tampaknya ada beberapa hak yang dilihat dari terjemahannya mirip satu sama
lain, tapi karena kita ketahui bahwa asas yang dianut masing – masing sistem
hukum itu berlainan, maka arti sebenarnya dari masing – masing hak itu
berlainan pula.
USAHA PENYESUAIAN HUKUM AGRARIA KOLONIAL DENGAN KEADAAN
DAN KEPERLUAN SESUDAH KEMERDEKAAN.
Dalam alam kemerdekaan, masalah – masalah keagrariaan yang timbul telah
mendorong pihak – pihak yang berwenang untuk melakukan perubahan hukum agraria.
Tetapi usaha untuk melakukan perombakan hukum agraria, ternyata tidak mudah dan
memerlukan waktu.
Menurut pengamatan Boedi Harsono pertama-tama adalah menerapkan kebijaksaan
baru terhadap undang – undang keagrarian yang lama, melalui penafsiran baru
yang sesuai dengan situasi kemerdekaan, UUD 1945 dan dasar negara Pancasila.
Seperti halnya dalam menghadapi pemberian hak atas dasar pernyataan domein yang
nyatanya bertentangan dengan kepentingan hak ulayat yang nyatanya bertentangan
dengan kepentingan hak ulayat sebagai hak-hak rakyat atas tanah.
Langkah kedua menurut Boedi Harsono sambil menunggu terbentuknya hukum
agraria yang baru, adalah dikeluarkannya pelbagai peraturan yang dimaksudkan
untuk meniadakan beberapa lembaga feodal dan kolonial, misalnya :
- Dengan UUPA No. 13/194/8 jo UU No. 5/1950 meniadakan lembaga apanage suatu lembaga yang mewajibkan para penggarap tanah raja untuk menyerahkan seperdua atau sepertiga dari hasil tanah pertanian atau untuk kerja paksa bagi para penggarap tanah pekarangan didaerah Surakarta dan Yogyakarta.
- Dengan UU no. 1/1958 menghapuskan “tanah partikelir” yaitu tanah-tanah eigendom yang diberi sifat dan corak istimewa (kepada pemiliknya diberi hak – hak pertuanan/landheerlijk rechten), yang bersifat ketatanegaraan, seperti mengesahkan hasil pemilihan / menghentikan kepala – kepala desa/kampung, hak untuk menuntut kerja paksa atau memungut uang pengganti kerja paksa, dan lain – lain.
- Dengan UU no. 6 tahun 1951, mengubah peraturan persewaan tanha rakyat. Pembatasan masa sewa dan besarnya sewa, dan kemudian UU No. 38 Prp 1960.
- Melakukan pengawasan atas pemindahan hak atas tanah dengan UU. No. 1 (dar) 1952.
- Melarang dan menyelesaikan soal pemakaian tanah tanpa izin dengan UU No.8 (dar) tahun 1954 jo UU no. 1 (dar) 1956.
- Dengan UU No. 2 tahun 1960, melakukan pembaruan pengaturan perjanjian bagi hasil
SEJARAH PEMBENTUKAN UUPA
1. PANITIA AGRARIA YOGYAKARTA
Pada tahun 1948 sudah dimulai usaha kongkret untuk menyusun dasar – dasar
hukum agraria yang baru, yang akan menggantikan hukum agraria warisan
pemerintah jajahan, dengan pembentukan Panitia Agraria yang berkedudukan di
Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta. Panitia dibentuk dengan penetapan
Presiden Republik Indonesia tanggal 21 Mei 1948 Nomor 16, diketuai oleh Sarimin
Reksodihardjo (Kepala Bagian Agraria Kementerian Dalam Negeri) dan beranggotakn
pejabat-pejabat dari berbagai kementerian dan jawatan, anggota-anggota badan
pekerja KNIP yang mewakili organisasi-organisasi tani dan daerah, ahli-ahli
hukum adat dan wakil dari serikat buruh perkebunan. Panitia ini dikenal dengan
panitia Agraria Yogyakarta.
Panitia bertugas memberi pertimbangan kepada pemerintah tentang soal-soal
yang mengenai hukum tanah seumumnya, merancang dasar-dasar hukum tanah yang
memuat politik agraria negara Republik Indonesia, merancang perubahan,
penggantian, pencabutan peraturan – peraturan lama, baik dari sudut legislatif
maupun dari sudut praktek dan menyelidiki soal-soal lain yang berhubungan
dengan hukum tanah.
Panitia mengusulkan asas-asas yang akan merupakan dasar dari hukum agraria
baru:
- Dilepaskannya asas domein dan pengakuan hak ulayat.
- Diadakannya peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan yang kuat, yaitu hak milik yang dapat dibebabi hak tanggungan.
- Suapaya diadakan penyelidikan dahulu dalam peraturan-peraturan negara-negara lain, terutama negara-negara tetangga, sebelum menetukan apakah apakah orang-orang asing dapat pula mempunyai hak milik atas tanah.
- Perlunya diadakan penepan luas minimum tanah untuk menghindarkan pauparisme diantara petani kecil dan memberi tanah yang cukup untuk hidup yang patut sekalipun sederhana.
- Perlunya ada penetapan luas maksimum.
- Menganjurkan untuk menerima skema hak-hak tanah.
- Perlunya diadakan registrasi tanah milik dan hak-hak menumpang yang penting (annex kadaster).
2. PANITIA AGRARIA JAKARTA
Sesudah terbentuknya kembali Negara Kesatuan maka dengan keputusan Presiden
Republik Indonesia tanggal 19 Maret 1951 Nomor 36/1951 panitia terdahulu
dibubarkan dan dibentuk Panitia Agraria Baru, yaitu berkedudukan di Jakarta.
Tugas panitia hampir sama dengan panitia terdahulu diYogyakarta. Beberapa
kesimpulan panitia mengenai soal tanah untuk pertanian kecil (rakyat), yaitu:
- Mengadakan batas minimum sebagai ide. Luas minimum ditentukan 2 hektar.
- Ditentukan pembatasan maksimum 15 hektar untuk satu keluarga.
- Yang dapat memiliki tanah untuk pertanian kecil hanya penduduk warga negara Indonesia. Tidak diadakan perbedaan antara warga negara “asli” dan “bukan asli”.
- Untuk pertanian kecil diterima bangunan-bangunan hukum: hak milik,hak usaha, hak sewa dan hak pakai.
- Hak ulayat disetujui untuk diatur oleh atau atas kuasa undang-undang sesuai dengan pokok-pokok dasar negara.
3. PANITIA SOEWAHJO
Dalam masa jabatan Menteri Agraria, Goenawan, dengan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 1/1956 tanggal 14 Januari 1956, panitian lama
dibubarkan dan dibentuk suatu panitia baru Panitia Negara Urusan Agraria,
berkedudukan di Jakarta.
Panitia yang baru diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo, Sekretaris Jenderal
Kementerian Agraria dan beranggotakan pejabat-pejabat pelbagai Kementerian dan
jawatan, ahli-ahli hukum adat dan wakil-wakil beberapa organisasi tani.
Adapun pokok-pokok yang penting daripada Rancangan Undang-Undang Pokok
Agraria hasil karya panitia tersebut ialah :
- Dihapuskannya asas domein dan diakuinya hak ulayat, yang harus ditundukkan pada kepentinan umum (negara).
- Asas domein diganti dengan hak kekuasaan negara atas dasar ketentuan pasal 38 ayat (3) Undang-Undang Dasar sementara.
- Dualisme hukum agraria dihapuskannya.
- Hak-hak atas tanah, hak milik sebagai hak terkuat, yang berfungsi sosial.
- Hak milik boleh dipunyai oleh orang-orang warga negara Indonesia.
- Perlu diadakan penetapan batas maksimum dan minimum luas tanah yang boleh menjadi milikmseseorang atau badan hukum.
- Tanah pertanian pada asanya harus dikerjakan dan diusahakan sendiri oleh pemiliknya.
- Perlu diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan penggunaan tanah.
4. RANCANGAN SOENARJO
Dengan adanya perubahan sistematik dan perumusan beberapa pasalnya, maka
rancangan “Panitia Soewahjo” tersebut diajukan oleh Menteri Agraria Soenarjo
kepada Dewan Menteri pada tanggal 14 Maret 1958. Rancangan undang-undang ini
dikenal kemudiab sebagai “Rancangan Soenarjo”, disetujui oleh Dewan Menteri
dalam sidangnya ke 94 pada tanggal 1 April 1958 dan kemudian diajukan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat dengan amanat Presiden tanggal 24 April 1958 Nomor
1307/HK.
Rancangan Soenarjo menggunakan lembaga-lembaga dan unsur-unsur yang baik
untuk hukum agraria yang baru, baik yang terdapat dalam hukum adat maupun hukum
Barat, yang disesuaikan dengan kesadaran hukum rakyat dan kebutuhan dalam
hubungan perekonomian. Sifat ketentuan dari hak-hak tertentu, dalam rancangan
Soenarjo, dianggap telah merupakan suatu pengertian yang erat hubungannya
dengan soal kepastian hukum, karenanya sangat diperhatikan.
Disebutkan dalam penjelasan umum bahwa rumusan mengenai hak miliknya mempersatukan
ketentuan hak eigendom atas tanah (menurut hukum Barat) dan hak milik menurut
hukum adat.
5. RANCANGAN SADJARWO
Setelah disesuaikan dengan UUD 1945 dan Pidato Presiden Soekarno pada
tanggal 17 Agustus 1959, dalam bentuk lebih sempurna dan lengkap diajukanlah
Rancangan undang-Undang Pokok Agraria yang baru oleh Menteri Agraria Sadjarwo
sehingga dikenal sebagai “Rancangan Sadjarwo”.
Rancangan Soejarwo berbeda prinsipiil dari rancangan Soenarjo. Ia hanya
menggunakan hukum adat sebagai dasar hukum agraria baru dan ia tidak mengoper
pengertian-pengertian “hak kebendaan” dan “hak perorangan” yang tidak dikenal
daam hukum adat,
Rumusan bahwa
hak milik, hak usaha dan hak bangunan dapat dipertahankan terhadap siapapun
juga “dari rancangan Soenarjo, diubah dengan sengaja dalam rancangan Sadjarwo
menjadi hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan, dapat beralih dan
dialihkan kepada pihak lain, karena tidak berkehendak untuk memasukkannya
pengertian-pengertian “hak kebendaan” dan “hak perorangan” ke dalam hukum
agraria yang baru.
DASAR – DASAR PENGATURAN UUPA
Pada tanggal 24 september 1960 RUU yang telah disetujui oleh DPR – GR itu
disyahkan oleh Presiden menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang menurut diktumnya yang kelima dapat
disebut dan selanjutnya memang lebih terkenal sebagai Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA).
UUPA diundangkan di dalam Lembaran Negara tahun 1960 Nomor 104, sedang
penjelasannya dimuat didalam tambahan Lembaran Negara Nomor 2043. UUPA mulai
berlaku pada tanggal diundangkannya, yaitu pada tanggal 24 september 1960
Dalam penjelasan UUPA dirumuskan tujuan yang hendak dicapai oleh PA, yaitu
meletakkan dasar-dasar :
1. Bagi penyusunan hukum agraria nasional
2. untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
3. untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat
seluruhnya.
Ad.a. Dasar Kenasionalan
Secara formal UUPA memang telah dibuat oleh badan pembentuk undang-undang
(yaitu, Presiden dengan persetujuan DPR) di Indonesia, dalam bahasa Indonesia
dan dinyatakan berlaku untuk seluruh negara Republik Indonesia. Secara materil
yaitu tujuan dan asas dari isi UUPA juga mencerminkan dasal kenasionalan
tersebut.
- ayat 1,2,dan 3 dari pasal 1 UUPA merupakan perwujudan dari dasar falsafah Pancasila terutama sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila Persatuan Indonesia.
- Negara merupakan badan penguasa. Ditegaskan oleh pasal 2 ayat 1 bahwa bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan dari rakyat Indonesia.
- Hanya warga negara Indonesia yang mempunyai hubungan sepenuhnya. Pasal 9 ayat 1 UUPA menegaskan kedudukan warga negara Indonesia dalam hubungandengan penguasaan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan yang terkandung didalamnya.
- Pengutamaan kepentingan nasional. Pernyataan pasal 5, bahwa hukum agraria yang baru berlaku ialah hukum adat sebagai hukum asli, disatu pihak menunjukkan bahwa UUPA telah memilih hukum yang lebih sesuai dengan kepribadian bangsa daripada hukum agraria berdasarkan hukum perdata Barat (BW) dan politik agraria kolonial.
Ad.b. Dasar Kesatuan dan Kesederhaan
Dihapuskannya dualisme hukum, dengan pencabutan hukum agraria kolonial dan
K.B. tentang Besluit, pencabutan BW (KUHPerdata) sepanjang mengenai tanah
(Diktum pertama UUPA) serta penetapan hukum adat sebagai dasar hukum agraria
(Pasal 5 UUPA), mencerminkan dsar kesatuan termaksud.
Dalam hal ini, hukum adat sebagai hukum asli bangsa Indonesia sesuai dengan
sifat dan tingkat pengetahunan bangsa Indonesia yang masih sederhana.
Ad.c. Dasar Kepastian Hukum
1. Dikembangkannya peraturan –peraturan hukum tertulis
sebagai pelaksanaan UUPA, akan memungkinkan pihak-pihak yang berkepentinan
untuk dengan mudah mengetahui hukum yang berlaku dan wewenang serta kewajiban
apa yang ada padanya atas tanah yang dipunyainya.
2. diselenggarakannya pendaftaran tanah yang efektif, akan
memungkinkan pihak – pihak yang berkepentingan dengan mudah membuktikan haknya
atas tanah yang dipunyainya dan mengetahui sesuatu atas tanah kepunyaan pihak
lain.
PERATURAN PERALIHAN
Dalam UUPA
terdapat 6 pasal kententuan peralihan, yaitu :
- Pasal-pasal yang mengatur sendiri (kaidah berdiri sendiri):
- Hak-hak yang sifatnya sementara (pasal 53)
- Menanggalkan kewarganegaraan rangkap (Pasal 54)
- Hak-hak asing (Pasal 55)
- Pasal-pasal yang menunjuk (Kaidah penunjuk):
- Peraturan mengenai hak milik, sebelum terbitnya UU hak milik termaksud dalam pasal 50 UUPA
- Peraturan mengenai hipotek dan creditverband, selama belum terbitnya UU mengenai hak tanggungan termaksud dalam pasal 51 UUPA (Pasal 57)
- Peraturan peralihan umumnya (Pasal 58)
Catatan tentang berlakunya UUPA di beberapa propinsi :
- Dengan telah selesainya Penentuan Pendapatan Rakyat pada tahun 1969 dan dibentuknya Irian Barat sebagai salah satu Propinsi di Indonesia (UU No. 12/1969), maka dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 tahun 1971 (tanggal 26 September 1971)UUPA dan peraturan-peraturan perundangan agraria lainnya untuk keseragaman dinyatakan berlaku diwilayah Propinsi Irian Jaya mulai tanggal 26 September 1971.
- berdasarkan undang-undang tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta (UU No. 3/1950), beberapa urusan diserahkan kepada Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai kewenangan otonom. Salah atu akibat dari penyerahan kewenangan ini adalah belum diberlakukannya UUPA No. 5 tahun 1960 di Propinsi tersebut secara penuh.
Kemudian setelah Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta menyampaikan
persyaratan untuk memberlakukan UUPA secara penuh, agar dapat lebih berdaya
guna dan berhasil guna, diterbitkanlah Keputusan Presiden Republik Indonesia
nomor 30 tahun 1984 bertanggal 1 April 1984.
kalau ada masukan silahkan komen aja.....^_^
0 komentar:
Posting Komentar