BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dalam menyiapkan generasi penerus bangsa anak merupakan asset utama. Tumbuh
kembang anak sejak dini adalah tanggung jawab keluarga, masyarakat dan negara.
Namun dalam proses tumbuh kembang anak banyak dipengaruhi oleh berbagai factor
baik biologis, psikis, sosial, ekonomi maupun kultural yang menyebabkan tidak
terpenuhinya hak – hak anak.
Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi anak telah disahkan Undang -
Undang (UU) Perlindungan Anak yaitu UU No. 23 Tahun 2002 yang bertujuan untuk
menjamin terpenuhinya hak – hak anak agar anak dapat hidup, tumbuh berkembang
dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta
mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak
Indonesia yang berkualitas berakhlak mulia dan sejahtera.
Akibat kehilangan hak – haknya, banyak anak – anak menjalani hidup mereka
sendiri. Oleh karena tidak memiliki arah yang tepat, maka banyak pula anak -
anak mulai bersinggungan dengan hukum. Tindakan yang melawan hukum seperti
pencurian, perkelahian dan narkoba sangat sering dilakukan oleh anak. Hal ini
terjadi karena mereka sudah kehilangan hak-hak yang seharusnya mereka miliki.
Pasal 13 (1) Undang – undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
disebutkan setiap anak selama dalam pengasuhan orangtua, wali atau pihak lain
yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan :
a. Diskriminasi;
b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. Penelantaran;
d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. Ketidakadilan, dan
f. Perlakuan salah lainnya.
Selanjutnya dalam Pasal 11 UU No. 23 tahun 2002 disebutkan pula bahwa
setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul
dengan anak sebaya, bermain, berekreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat
kecerdasannya demi pengembangan diri. Anak adalah pemimpin masa depan siapapun
yang berbicara tentang masa yang akan datang, harus berbicara tentang
anak-anak.
Menyiapkan Indonesia kedepan tidak cukup kalau hanya berbicara soal income
per kapita, pertumbuhan ekonomi, nilai investasi, atau indikator makro lainnya.
Sesuatu yang paling dasar adalah sejauh mana kondisi anak disiapkan oleh
keluarga, masyarakat dan negara. Anak – anak yang karena ketidakmampuan,
ketergantungan dan ketidakmatangan baik fisik mental maupun intelektualnya
perlu mendapat perlindungan, perawatan dan bimbingan dari orang tua (dewasa).
Perawatan, pengasuhan serta pendidikan anak merupakan kewajiban agama dan
kemanusiaan yang harus dilaksanakan mulai dari orang tua, keluarga, masyarakat,
bangsa dan negara.
Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan yang senantiasa harus kita jaga
karena dalam dirinya melekat pula harkat, martabat dan hak – hak sebagai
manusia yang harus dijunjung tinggi. Dari sisi kehidupan anak adalah masa depan
bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas
perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi. Orangtua, keluarga dan
masyarakat bertanggungjawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut
sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum.
Demikian pula dalam rangka penyelenggaraaan perlindungan anak, negara dan
pemerintah juga bertanggungjawab untuk menyediakan fasilitas dan aksesibilitas
bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara
optimal. Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak
dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 tahun. Dalam melakukan
pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu adanya peran masyarakat
baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya
masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media
massa dan lembaga pendidikan.
B.Identifikasi
masalah
Dari
beberapa uraian di atas saya membatasi masalah menjadi beberapa identifikasi,
yaitu :
1.
Apa yang seharusnya bentuk perlindungan yang diberikan, berdasarkan UU no 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Di Indonesia?
2. Bagaimana perlakuan terhadap
anak pelaku tindak pidana ?
C.Tujuan
Penyusunan
Tujuan
dari penyusunan makalah ini adalah untuk
dapat menjelaskan, pentingnya perlindungan anak di indonesia.
D.
Metode Pendekatan
Dalam
pendekatan makalah ini, penyusun menggunakan metode normatif yang berdasarkan
atas studi pustaka. Yaitu dengan cara membaca dan merangkum data yang berkenaan
dengan materi yang dibahas dalam makalah ini sertamenggunkan data sekunder yang
didapatkan dari beberapa media masa baik cetak maupun elektronik
E.
SISTEMATIKA PENULISAN
-Bab
1 menjelaskan tentang latar belakang, identifikasi masalah, tujuan masalah,
metode penyusunan dan metode pendekatan, serata sistematika penulisan ini
sendiri.
-Bab
2 adalah tinajuan pustaka yang dimana disitu dicantumkan data-data bahan studi
yang digunakan untuk membuat makalah ini
-Bab
3 pembahasan yang menjawab identifikasi masalah-masalah yang dipaparkan di bab
1
-Bab
4 berisi kesimpulan dan saran tentang makalah yang saya buat .
BAB II
TINJAAUAN
PUSTAKA PUSTAKA
Hukum anak sebenarnya memiliki makna yang tidak sebatas pada persoalan
peradilan anak, namun lebih luas dari itu. Undang-undang No. 23/2002 tentang
perlindungan anak telah membantu memberikan tafsir, apa-apa saja yang menjadi
bagian hukum anak di Indonesia yang dimulai dari hak keperdataan anak di bidang pengasuhan,
perwalian dan pengangkatan anak; juga mengaturmasalah eksploitasi anak anak di
bidang ekonomi, sosial dan seksual. Persoalan lain yang diaturdalam hukum
perlindungan anak adalah bagaimana penghukuman bagi orang
dewasa yang melakukan kejahatan pada anak-anak dan juga tanggung jawab orang
tua, masyarakat dan negara dalam melindungi anak-anak. Dengan demikian cakupan
hukum anak sangat luas dan tidak bisa disederhanakan hanya pada bidang
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak-anak.
1.
Menyebar
Undang-Undang (UU) yang mengatur masalah hukum anak masih menyebar di
beberapa perundung-undangan di Indonesia. Sangat disayangkan. Sebut saja
misalnya, tentang perlindungan anak dari tindak pidana perdagangan orang ada
diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU
No. 21/2007), namun walaupun sudah diatur dalam UU tersebut, tidak ada defenisi
yang memberikan batasan tentang perdagangan orang. Demikian juga yang terkait
dengan perlindungan anak dari pornografi diatur dalam UU No. 44/2008 tentang
Pornografi. Demikian tentang perlindungan anak dari kekerasan dalam rumah
tangga diatur dalam UU No. 23 tahun 2004.Undang-undang No. 1 tahun 1974
mengatur tentang hak waris anak, soal prinsip-prinsip pengasuhan anak juga
batasan usia menikah bagi seorang anak. Demikian juga soal kewarganegaraan
seorang anak ada diatur dalam Undang-Undang Kewarganegaraan tahun 2006. Lalu
tentang batasan minimum anak diperbolehkan bekerja dan hak-hak yang dimiliki
pekerja anak ada diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan. Dan banyak aspek
lain yang mengatur
tentang persoalan anak yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Dari gambaran di atas menunjukkan kompleksitas persoalan perlindungan
hukum anak sangat luas, dan tidak bisa disederhanakan pada satu isu saja.
Penting untuk memperluas cakupan dan wawasan para penegak hukum tentang
pentingnya pemahaman yang komprehensif yang terkait dengan hukum anak termasuk
mempertimbangkan tentang amandemen kurikulum perguruan tinggi
khususnya fakultas hukum dalam memasukkan komponen ini dalam mata kuliah
sehingga keahliaan hukum anak bisa lebih meningkat yang pada akhirnya mampu
memecahkan berbagai persoalan yang menyangkut perlindungan anak di Indonesia.
2.
Penyidik Anak
Penyidik anak saat ini baru sebatas dimiliki oleh penegak hukum di
tingkat kepolisian yang berada pada unit perlindungan anak dan perempuan (Unit
PPA), itupun tidak secara spesifik disebut sebagai penyidik anak, namun
otoritas diberikan kepada mereka jika menghadapi kasus-kasus
yang terkait dengan anak sebagai pelaku atau anak sebagai korban.
Otoritas penyidik anak sudah sepatutnya juga diberikan kepada
petugas dari kementrian sosial untuk mengawasi pengasuhan ,perwalian dan
pengangkatan anak. Acap kali ketika terjadi sengketa terhadap hak asuh anak di
pengadilan, kerap juga terjadi penguasaan anak oleh salah satu pihak dan pihak
lain tidak diberikan akses untuk mengunjungi atau secara bersama sama mengasuh
anak tersebut padahal perceraian belum diputus oleh pengadilan. Demikian juga
ketika telah terjadi putusan pengadilan untuk menunjuk salah satu pihak sebagai
pengasuh anak namun di lapangan diingkari oleh pihak suami atau isteri maka
pemerintah sama sekali tidak bisa intervensi untuk mengeksekusi putusan
tersebut. Kasus lain tentang tidak ada satu institusi yang punya kewenangan
untuk melakukan
pengawasan adopsi anak baik oleh warga negera Indonesia maupun warga negara
asing . Pengawasan yang dimaksudkan bukan saja ketika ada pelaporan, tetapi
juga secara proaktif dilakukan tanpa harus menunggu pelaporan. Ketiadaan
penyidik anak di kementerian sosial ini menyebabkan terjadi kekosongan hukum sehingga
sering terjadi penyalahgunaan hak-hak anak oleh orang dewasa termasuk orang
tuanya sendiri. Negara belum mampu memberikan perlindungan terhadap tindakan
kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh orang tua (kandung maupun angkat)
terhadap anak-anaknya. Egoisme yang dimiliki oleh orang tua kerap kali
mengorbankan kepentingan anak dan negara tidak mampu melindunginya.
3.
Kompilasi dan harmonisasi
Karena masih bertebaranya peraturan perundung-undangan yang mengatur
masalah perlindungan anak dan bahkan beberapa perundangan masih bertubrukan
dengan perundangan lain, maka perlu dilakukan kompilasi perundang-undangan
tersebut oleh badan negara yang berwenang selanjutnya dilakukan
kajian untuk melihat harmonisasi antara perundang-undangan yang ada. Dengan
demikian akan dapat dilihat tubrukan dan kekosongan hukum yang
terjadi. Maka langkah berikutnya adalah melakukan legal
reform agar
persoalan anak bisa menjadi prioritas yang dijalankan oleh negara
BAB
III
PEMBAHASAN
A. PERLAKUAN TERHADAP
KEBUTUHAN & HAK – HAK ANAK
Anak-anak yang masih dependen, sudah barang tentu berbeda dengan orang
dewasa yang pada umumnya secara teoritis dan praktis tidak lagi
dikualifikasikan sebagai kelompok rentan. Berbeda dengan orang dewasa, dalam
dunia kenyataan anak – anak kerap menjadi sasaran dan korban kekerasan dengan
dampak yang panjang dan permanen.
Lebih dari itu, anak-anak pula kerap menderita berbagai eksploitasi ekonomi
ataupun seksual, penyalahgunaan (child abused), dan pelanggaran hak lainnya.
Lingkupnya melebar bukan hanya di sektor public seperti di jalanan, di penjara,
malahan kekerasan ada di sekolah, malahan di dalam rumah atau ruang keluarga
mereka kerap menjalani domestic violence. Lebih parah lagi, pada beberapa
negara yang berkonflik senjata, anak-anak menjadi korban keganasan mesin perang
Ada 4 (empat) prinsip dasar yang kemudian dirumuskan utuh dalam Pasal 2 UU
No.23 tahun 2002, yaitu :
a. Non diskriminasi;
Diskriminasi sebagai adanya pembedaan (distiction), pengucilan (exclusion),
pembatasan (restriction) atau pilihan/pertimbangan (preference), yang
berdasarkan atas ras (race), warna kulit (colour), kelamin (sex), bahasa
(language), agama (religion), politik (political) atau pendapat lain (other
opinion), asal usul sosial atau nasionalitas, kemiskinan (proverty), kelahiran
atau status lain.
Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang
langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar
agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi,
jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan,
penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi
manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif
dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan
lainnya. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
b. Kepentingan terbaik bagi anak
Prinsip ini diletakkan sebagai pertimbangan utama dalam semua tindakan
untuk anak, baik oleh institusi kesejahteraan sosial pada sektor publik ataupun
privat, pengadilan, otoritas administratif, ataupun badan legislatif.
Negara dan pemerintah, serta badan – badan publik dan privat memastikan
dampak terhadap anak-anak atas semua tindakan mereka, yang tentunya menjamin
bahwa prinsip kepentingan terbaik bagi anak menjadi pertimbangkan utama,
memberikan prioritas yang lebih baik bagi anak-anak dan membangun masyarakat
yang ramah.
Dengan demikian, kepentingan kesejahteraan anak adalah tujuan dan penikmat
utama dalam setiap tindakan, kebijakan, dan atau hukum yang dibuat oleh lembaga
berwenang. Guna menjalankan kepentingan terbaik bagi anak ini, bahwa negara
menjamin perlindungan anak dan memberikan kepedulian pada anak. Negara
mengambil peran untuk memungkinkan orangtua bertanggungjawab terhadap anaknya,
demikian pula lembaga –lembaga hukum lainnya.
Dalam situasi dimana tanggungjawab dari keluarga atau orangtua tidak dapat
dijalankannya, maka negara mesti menyediakan program jaminan social. Perihal
jaminan sosial ini, diharmonisasikan ke dalam Pasal 8 UU No. 23 tahun 2002 yang
secara eksplisit menyebutkannya sebagai hak anak yang wajib diselenggarakan
oleh Pemerintah.
Negara mesti menjamin institusi – institusi, pelayanan, dan fasilitas yang
diberikan tanggung jawab untuk kepedulian pada anak atau perlindungan anak yang
sesuai dengan standar yang dibangun oleh lembaga yang berkompeten. Negara mesti
membuat standar pelayanan sosial anak, dan memastikan bahwa semua institusi
yang bertanggung jawab mematuhi standar dimaksud dengan mengadakan monitoring
atas pelaksanaannya.
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;
Prinsip ini dituangkan dalam norma hukum Pasal 4 UU No. 23 tahun 2002. Jika
dibandingkan, norma hukum pasal 4 UU No. 23 tahun 2002 mengacu dan bersumber
kepada Pasal 28 B ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945. Sementara itu, ketentuan
perundang-undangan lainnya seperti UU No. 39 tahun 1999 juga mengatur hak hidup
ini yang merupakan asas-asas dasar dalam Pasal 4 dan 9 UU No. 39 tahun 1999).
Hak hidup ini dalam wacana instrumen/konvensi internasional merupakan hak asasi
yang universal, dan dikenali sebagai hak yang utama.
d. Penghargaan terhadap pendapat anak.
Anak dapat dan mampu membentuk atau mengemukakan pendapatnya dalam
pandangannya sendiri yang merupakan hak berekspresi secara bebas. Jaminan
perlindungan atas hak mengemukakan pendapat terhadap semua hal tersebut, mesti
dipertimbangkan sesuai usia dan kematangan anak. Sejalan dengan itu, negara
wajib menjamin bahwa anak diberikan kesempatan untuk menyatakan pendapatnya
pada setiap proses peradilan ataupun administrasi yang mempengaruhi hak anak,
baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Dalam Pasal 3 UU No. 23 tahun 2002, prinsip penghargaan terhadap pendapat
anak ini juga secara eksplisit diadopsi sebagai prinsip dasar, bersamaan dengan
Pancasila sebagai asas dan UUD 1945 sebagai landasan penyelenggaraan
perlindungan anak.
Dalam UU No. 23 tahun 2002 diatur hak dan kewajiban anak (Pasal 4 s/d 19).
Penegasan hak anak dalam UU No. 23 Tahun 2002 ini merupakan legalisasi hak -
hak. Dengan demikian, Pasal 4 s/d 18 UU No. 23 tahun 2002 menciptakan norma
hukum tentang apa yang menjadi hak-hak anak. Dalam Pasal 4 s/d 19 UU No. 23
tahun 2002, dirumuskan hak - hak anak serta 1 pasal mengenai kewajiban anak,
yaitu sebagai berikut :
1. Hak anak atas hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan
partisipasi secara wajar (Pasal 4 UU Nomor 23 tahun 2002).
2. Hak atas nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan
(Pasal 5 UU Nomor 23 tahun 2002).
3. Hak untuk beribadah menurut
agamanya, berfikir danberekspresi (Pasal 6 UU
No. 23 tahun 2002).
4. Hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan
diasuh orangtua (Pasal 7 ayat 1 UU No. 23 tahun 2002).
5. Hak untuk diasuh atau diangkat oleh orangtua asuh atau orangtua
angkat (Pasal 7 ayat 2 UU No. 23 tahun 2002).
6. Hak memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 8 UU No.23 tahun 2002).
7. Hak untuk memperoleh jaminan sosial (Pasal 8 UU No. 23 tahun
2002).
8. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran (Pasal 9 ayat 1 UU No.
23 tahun 2002).
9. Hak memperoleh pendidikan luar biasa bagi anak cacat(Pasal 9 ayat 2 UU
No. 23 tahun 2002).
10. Hak memperoleh pendidikan khusus bagi anak yang memiliki
keunggulan (Pasal 9 ayat 2 UU No. 23 tahun 2002).
11. Hak untuk menyatakan dan didengar pendapatnya(Pasal 10 UU No. 23 Tahun
2002).
12. Hak menenerima, mencari, dan memberikan informasi(Pasal 10 UU No. 23
tahun 2002).
13. Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu
luang, bergaul dengan sebaya, bermain, berekreasi dan
berkreasi (Pasal 11 UU No. 23 tahun 2002).
Dan bagi anak yang menyandang cacat, berhak untuk memperoleh rehabilitasi,
bantuan sosial, pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial (Pasal 12 UU No. 23
tahun 2002). Ketentuan ini mengacu kepada Pasal 54 UU No. 39 tahun 1999
ditentukan bahwa anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh
perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara.
Demikian pula dalam Pasal 7 UU No. 4 tahun 1979, anak cacat berhak
memperoleh pelayanan khusus untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan anak.
Serta anak yang dalam status pengasuhan, berhak
untuk dilindungi dari diskriminasi. eksploitasi (ekonomi dan
seksual), penelantaran kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan
dan perlakuan salah (lihat Pasal 13 ayat 1 UU No. 23 tahun 2002). Ketentuan ini
untuk menegaskan bahwa sangat mungkin perbuatan diatas terjadi di dalam
keluarga yakni dalam menjalankan pengasuhan anak. Karenanya, hak anak untuk
dilindungi dari berbagai tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat 1 UU
No.23 tahun 2002 menolak pandangan lama bahwa eksploitasi, penyalahgunaan
ataupun kekerasan yang dilakukan orangtua atau walinya dalam status pengasuhan
anak di dalam lingkungan keluarga (domestic violence) adalah bukan pelanggaran
hak anak.
Pada prinsipnya, negara melakukan upaya agar anak berada dalam pengasuhan
orangtuanya sendiri, dan tidak dipisahkan dari orangtua secara bertentangan
dengan keinginan anak. Jika anak dan orangtua berada dalam negara yang lain,
maka anak berhak untuk bersatu kembali (family reunification) secara cepat dan
manusiawi. Ketentuan Pasal 14 UU No.23 tahun 2002 yang pada prinsipnya memuat
norma hukum yang melarang pemisahan anak dari orangtuanya. Ditegaskan bahwa
anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orangtuanya secara bertentangan dengan
kehendak anak, kecuali apabila pemisahan dimaksud mempunyai alasan hukum yang
sah, dan dilakukan demi kepentingan terbaik anak.
Anak haruslah memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam
kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam
kerusuhan social, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan,
pelibatan dalam peperangan (Pasal 15 UU Nomor 23 tahun 2002).
Anak juga memperoleh perlindungan dari penganiayaan, penyiksaan,
penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi (Pasal 16 ayat 1 UU No. 23 tahun 2002).
Karenanya, pemerintah sebagai pembayar hak rakyat (dalam hal ini anak) wajib
melakukan upaya tertentu untuk melindungi anak dari perbuatan yang dirumuskan
pasal 16 ayat 1 UU No.23 tahun 2002. Jadi, konteksnya adalah larangan
memposisikan anak sebagai sasaran penganiayaan, penyiksaan, dan penjatuhan
hukuman yang tidak manusiawi.
Anak yang dirampas kemerdekaannya, berhak untuk memperoleh perlakuan
manusiawi, penempatan dipisah dari orang dewasa, memperoleh bantuan
hukum, memperoleh bantuan lainnya, membela diri dan memperoleh
keadilan di pengadilan yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang
tertutup untuk umum. Dan anak korban atau pelaku kekerasan seksual ataupun
anak-anak yang berhadapan dengan hukum, berhakdirahasiakan
identitasnya (lihat Pasal 17 ayat 2 UU No. 23/2002). Ketentuan ini
merupakan penegasan dari norma hukum dalam UU No. 3 tahun 1997. Dalam Pasal 8
ayat 5 UU No.3 tahun 1997 ditentukan bahwa pemberitaan mengenai perkara anak
mulai penyidikan sampai dengan saat sebelum pembacaan putusan pengadilan
menggunakan singkatan dari nama anak, orangtua, wali, atau orangtua asuhnya.
Selanjutnya, menurut Pasal 42 ayat 3 UU No.3 tahun 1997, proses penyidikan
terhadap perkara anak nakal wajib dirahasiakan. Kewajiban untuk merahasiakan
identitas anak nakal ini konsisten dengan norma hukum Pasal 8 ayat 1 UU No. 3
tahun 1997 yang menentukan bahwa hakim memeriksa perkara anak nakal dalam
sidang tertutup. Kecuali dalam hal tertentu, sidang dapat dinyatakan sebagai
sidang terbuka. Jadi, sebelumnya adanya UU No.23 tahun 2002, dalam hal menjaga
kerahasiaan anak yang berhadapan dengan hukum sudah tersedia UU No. 3 tahun
1997 yang lebih maju, dimana adanya norma hukum yang mewajibkan penyidikan yang
merahasiakan identitas anak. Karenanya, bukan lagi hanya sekadar hak anak,
namun telah dirumuskan sebagai kewajiban penyidik dalam penyidikan.
Anak berhak memperoleh bantuan hukum, danbantuan lainnya, baik korban
atau pelaku tindak pidana (Pasal 18 UU No.23 tahun 2002).
Hak untuk mendapatkan bantuan hukum, sudah diatur sebelumnya dalam UU No. 3
tahun 1997. Menurut Pasal 51 ayat 1 UU No.3 tahun 1997, setiap anak nakal sejak
saat ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan bantuan hukum dari penasehat
hukum. Namun dalam Penjelasan Pasal 18 UU No.23 tahun 2002, dijelaskan bahwa
anak berhak pula atas bantuan lainnya, seperti bantuan medik, sosial,
rehabilitas, vokasional, dan pendidikan.
Anak berkewajiban (Pasal 19 UU No. 23 tahun 2002) untuk menghormati
orangtua, wali dan guru, mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman,
mencintai tanah air, bangsa, dan Negara, menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran
agamanya dan melaksanakan etika dan akhlak yang mulia. Dalam UU No 23 tahun
2002 ini juga diatur tentang kewajiban anak. Hal ini tertuang dalam pasal 19 UU
No 23 tahun 2002. Namun norma dalam Pasal 19 tersebut hanya bersifat umum, dan
hanya memuat prinsip-prinsip penting saja sehingga lebih sebagai “primary
laws”. Perumusan pasal 19 UU No 23 tahun 2002 ini dalam sejarah dan latar
belakang pembentukannya dimaksudkan untuk menjadi penyeimbang antara hak dan
kewajiban anak.
Namun, norma yang tertera dalam Pasal 19 itu sebenarnya relevan dengan
norma hukum lainnya di Indonesia, dan norma dalam UU No 23 tahun 2002. Norma
kewajiban anak dalam pasal 19 sebenarnya tidak lepas dari hak-hak anak untuk
tumbuh dan berkembang (mental dan spiritualnya, serta etika moralnya),
berpartisipasi (dalam bermasyarakat, bersosialisasi dengan sesama anak/tema,
berbangsa dan bernegara). Norma kewajiban anak ini relevan dengan tanggungjawab
orangtua, dimana anak dalam masa evolusi menjadi dewasa. Bahwa orangtua diberi
ruang untuk menjalankan tugasnya sebagai orangtua guna memberi pengarahan
kepada anak (to provide direction to the child in the exercise of his or her right).
B. PERLAKUAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK
PIDANA
Berdasarkan Undang – Undang tentang Perlindungan Anak,
proses penyelesaian tindak kejahatan anak secara hukum harus dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pasal 16 (3) UU No. 23 tahun 2002 menyebutkan bahwa penangkapan, penahanan atau tindak
pidana penjara anak hanya dilakukan
apabila sesuai dengan hukum yang berlaku
dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya
terakhir.
Setiap orang tua yang memiliki anak yang bermasalah dengan hukum sebaiknya membuat pengaduan dan pelaporan kepada lembaga - lembaga yang berkonsentrasi
melindungi hak – hak anak, salah satunya
adalah LBH anak. Namun, orangtua juga
tidak perlu terlalu khawatir jika kasus anak yang bermasalah dengan hukum sudah terlanjur dibawa ke kepolisian untuk diselesaikan melalui jalur hukum. Untuk saat ini, setiap instansi kepolisian
sudah memiliki satu unit pelayanan yang
dikhususkan untuk menangani hal – hal
yang sifatnya khusus, seperti penanganan
kasus perempuan dan anak. Unit pelayanan tersebut
dinamakan RPK atau Ruang Pelayanan
Khusus. Di bagian ini semua kasus yang ada
kaitannya dengan anak dan perempuan akan ditangani
sesuai aturan yang berlaku.
Pasal 18 UU No. 23 tahun 2002 menyebutkan,setiap anak yang menjadi korban
atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum danbantuan lainnya.
Dalam bagian penjelasan atas UU No. 23
tahun 2002 tersebut dikatakan, bantuan
lainnya dalam ketentuan ini termasuk
bantuan medis, sosial, rehabilitasi, vokasional
dan pendidikan. Setiap kasus yang masuk ke kepolisian, jika sang pelaku belum
didampingi oleh kuasa hukum maka tim RPK Polda berkewajiban melaporkannya
kepada institusi LBH Anak, sehingga anak yang menjadi pelaku ataupun korban
tindak pidana bisa mendapat pendampingan dan bantuan hukum.
Hal lain yang juga dilakukan oleh tim RPK di kepolisian untuk menangani
kasus tindak pidana oleh anak adalah, melakukan restorasi justice. Bagi kasus -
kasus yang masuk akan diselesaikan dengan non pengadilan. Hal ini tentu saja
jika telah disepakati oleh semua pihak yang terlibat dalam sengketa. Namun jika
hal ini tidak mencapai kesepakatan, maka kasus akan dilanjutkan sampai ke meja
hijau alias pengadilan. Namun, hampir semua kasus bisa diselesaikan dengan
baik, dan anak - anak yang menjadi pelaku tindak pidana ini dikembalikan kepada
orangtua mereka untuk mendapat pengawasan dan pembinaan.
Proses pengadilan anak akan dilakukan berbeda dengan proses pengadilan
biasa. Dalam setiap persidangan majelis hakim akan hadir sebagai penengah dan
pemberi nasihat, tanpa menggunakan seragam hakim dan atribut lainnya. Hal ini
dilakukan untuk menjaga kestabilan emosi dan psikologis anak. Dengan kondisi
ini, anak tidak merasa menjadi orang yang paling jahat dan sangat bersalah.
Perlindungan hukum terhadap pelaku tindak pidana anak
dalam proses peradilan pidana dimaksudkan, agar terpenuhi hak-haknya sebagai
anak yang merupakan salah satu tujuan untuk melindungi anak-anak Indonesia.
Dalam mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan dukungan
kelembagaan dan peraturan perundang – undangan yang dapat menjamin
pelaksanaanya, yaitu adanya kerjasama dan tanggungjawab antara negara,
pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua serta adanya sarana dan
prasarana yang mendukung. Sifat yang khusus dari anak terdapat pembedaan
perlakuan dalam hukum acara dan ancaman pidananya, agar tidak menimbulkan
dampak sosiologis dan psikologis anak demi perkembangan masa depannya karena
lebih mengutamakan pembinaan daripada pemidanaannya.
Pemeriksaan baik di tingkat penyidikan, penuntutan
maupun persidangan anak harus mendapatkan perlindungan atas hak-haknya.
Mendapatkan pemeriksaan dalam sidang yang tertutup untuk umum dan berhak
dirahasiakan. Penangkapan dan penahanan hanya dapat dilakukan dengan bukti
permulaan yang cukup. Masa penahanan lebih singkat dan penempatan penahanan
juga harus terpisah dari orang dewasa. Penangkapan dan penahanan tersebut hanya
dilakukan sesuai dengan hukum. Setiap pemeriksaan, anak berhak didampingi
penasehat hukum dan tidak terlepas dari peranan Pembimbing Kemasyarakatan serta
berhak membela diri di depan persidangan.
Aparat penegak hukum dalam menangani masalah anak,
selain berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang memiliki sanksi atas
pelanggarannya juga harus mengerti dan memahami masalah anak baik dari segi
umur anak. Hal – hal yang melatarbelakangi kepribadian anak maupun latar
belakang dilakukannya tindak pidana. Hal tersebut dicantumkan dalam laporan
penelitian kemasyarakatan yang wajib dipergunakan hakim sebagai bahan
pertimbangan dalam menjatuhkan putusan.
Penjatuhan putusan pidana penjara hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir dan tidak diperkenankan adanya penjatuhan
pidana mati atau pidana seumur hidup, dengan didasarkan pada penjatuhan sanksi
yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak dan kesadaran pentingnya
perlindungan hukum terhadap pelaku tindak pidana anak
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Anak
adalah titipan Tuhan yang harus kita lindungi agar tercapai masa pertumbuhan
dan perkembangannya menjadi seorang manusia dewasa sebagai keberlanjutan masa
depan bangsa. Anak bukan orang dewasa ukuran kecil, tetapi seorang manusia yang
tumbuh dan berkembang mencapai kedewasaan sampai berumur 18 tahun termasuk anak
dalam kandungan. Mereka memiliki posisi strategis karena jumlahnya 38 persen
dari total penduduk Indonesia.
Kunci utama untuk menjadikan anak sebagai potensi Negara dalam rangka
keberlangsungan kehidupan dan kejayaan bangsa adalah bagaimana komitmen
pemerintah untuk menjadikan anak sebagai prioritas utama dalam pembangunan.
Upaya nyata adalah menciptakan lingkungan yang mengutamakan perlindungan bagi
anak, menghidupkan nilai – nilai dan tradisi yang memajukan harkat dan martabat
anak, mengeksplorasi dan memobilisasi sumber daya untuk mendukung penyelenggaraan
perlindungan anak. Namun, semua itu tergantung bagaimana negeri ini
menemukankepemimpinan yang peduli anak.
Dengan memahami perlindungan anak maka isu utama peningkatan kualitas hidup
manusia Indonesia akan lebih jelas tentang situasi dan kondisinya. Dengan
demikian, solusi untuk mengatasi persoalan tersebut dapat menjadi objek forma
suatu penelitian ilmu kemanusiaan, selanjutnya rekomendasi dari hasil
penelitian dapat diterapkan menjadi ilmu pengetahuan berupa dalil dan teori
yang tentunya akan dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan seperti ilmu
kemanusiaan yang pada gilirannya dapat mengembangkan khasanah ilmu kemanusiaan.
B. SARAN
Perlindungan
anak dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung. Secara
langsung, maksudnya kegiatan tersebut langsung ditujukan kepada anak yang
menjadi sasaran penanganan langsung. Kegiatan seperti ini, antara lain dapat
berupa cara melindungi anak dari berbagai ancaman baik dari luar maupun dari
dalam dirinya, mendidik, membina, mendampingi anak dengan berbagai cara,
mencegah kelaparan dan mengusahakan kesehatannya dengan berbagai cara, serta
dengan cara menyediakan pengembangan diri bagi anak. Sedangkan yang dimaksud
dengan perlindungan anak secara tidak langsung adalah kegiatan yang tidak langsung
ditujukan kepada anak, melainkan orang lain yang terlibat atau melakukan
kegiatan dalam usaha perlindungan terhadap anak tersebut
DAFTAR PUSTAKA
·
Bambang Purnomo, 1984. Operasi
Pemberantasan Kejahatan dan Kemanfaatan Ahli Kedokteran Jiwa, Bina Aksara,
Yogyakarta
·
R. AtangRanoemihardja, 1991. Ilmu
Kedokteran Kehakiman, Tarsito, Bandung
·
Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana No. 8 Tahun 1981
·
Budiyanto A, et al. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta:
Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 1997. P 1-42.
·
Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Peraturan
Perundang-undangan Bidang Kedokteran. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik
FKUI; 1994.
·
Anonim. Bab II: Tinjauan Pustaka Traumatologi [PDF].
Diunduh di www.library.upnvj.ac.id (1 November 2012, pukul
05.00 WIB).
1 komentar:
Goyang Casino: Review for 2021 | Oyster.com Hotel
Goyang 올레벳 casino is a relatively new brand in the world of netteller casino gambling. The company also runs a full gaming 외국 라이브 area 포커 디펜스 with some of the most 하하 포커
Posting Komentar