Latar Belakang
Masalah
Bentuk-bentuk perbuatan perlakuan penyebab timbulnya korban
anak dapat diklasifikasikan kedalam empat jenis yaitu penganiayaan fisik,
penganiayaan emosional, penganiayaan seksual dan eksploitasi seksual. Romli
Atmasasmita mengatakan bahwa banyak orang tua yang tergelincir dengan
memberikan pengaruh negatif dalam perkembangan kehidupan anak-anak.
Bentuk
eksploitasi seksual anak dibagi menjadi dua yakni pelacuran anak dan
perdagangan anak dengan tujuan seksual termasuk dalam jenis eksploitasi seksual
yang komersial dan saat ini kecanggihan teknologi dalam internet tidak luput
menjadi akses oleh pihak-pihak tertentu dalam pemasaran jual beli anak dan
tidak sedikit kasus yang ditemui bahwa orang tua mengizinkan anaknya yang masih
dibawah umur sebagai pekerja sex komersial dan dipasarkan oleh pihak-pihak
tertentu bahkan lintas negara dengan memiliki tujuan untuk mengeksploitasi
komersial seksual anak melalui salah satu kecanggihan teknologi antara lain
yaitu melalui media internet.
Pengeksploitasian
seksual anak melalui media internet merupakan akibat dari perkembangan
teknologi informasi yang dewasa ini berkembang dengan pesat. Teknologi
informasi telah mengubah perilaku masyarakat dan peradaban manusia secara
global. Di samping itu, perkembangan tekhnologi informasi telah menyebabkan
dunia menjadi tanpa batas dan menyebabkan perubahan struktur sosial masyarakat
yang secara signifikan berlangsung dengan cepat. Tekhnologi Informasi
memberikan kontribusi yang sangat besar bagi peningkatan kesejahteraan,
kemajuan dan peradaban manusia.
Kehadiran
internet telah membuka cakrawala baru dalam kehidupan manusia. Internet
merupakan sebuah ruang informasi dan komunikasi yang menjanjikan menembus
batas-batas antar negara, penyebaran dan pertukaran ilmu serta gagasan di
kalangan ilmuwan dan cendikiawan diseluruh dunia. Internet membawa kemajuan
kepada ruang atau dunia baru yang tercipta yang dinamakan cyberspace yaitu sebuah dunia komunikasi berbasis komputer.
Perkembangan
tekhnologi merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan kejahatan,
sedangkan kejahatan itu sendiri telah ada dan muncul sejak permulaan zaman
sampai sekarang dan masa yang akan datang. Bentuk-bentuk kejahatan yang ada
semakin hari semakin bervariasi seperti pencurian data, pelanggaran hak cipta
termasuk pemasaran anak dengan tujuan eksploitasi seksual, seperti kasus
eksploitasi seksual anak yang dilakukan oleh Koko Roy (58) tahun yang telah
terbukti menggauli delapan anak, lima diantaranya masih dibawah umur, dengan
dihargai Rp.1.000.000,00- (satu juta rupiah) per-anak. Tindakan pedofilia Koko Roy yang merekam seratus
lebih adegan porno di telepon selulernya tentang aktivitas seksualnya adalah
indikasi kejahatan. Koko Roy (58) dengan sengaja mengedarkan hasil gambar
rekaman tersebut ke jaringan pedofilia
melalui telepon seluler dan internet di lintas negara. Sehingga para pedofil dari berbagai negara dapat
mengakses dengan mudah gambar porno yang dihasilkan oleh Koko Roy (58) serta
dapat memesan salah satu anak yang terdapat pada situs porno eksploitasi komersial
seksual anak tersebut untuk tujuan seksual.
Pada kasus pedofilia yang
dilakukan oleh Koko Roy(58) tahun maka telah memenuhi unsur-unsur dalam kasus
eksploitasi seksual terhadap anak dibawah umur.
A.
Menurut kamus Crime Dictionary yang dikutip seorang
ahli (Abdussalam, 2010:5) bahwa Victim adalah “orang yang telah mendapat
penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda atau
mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan dilakukan oleh
pelaku tindak pidana dan lainnya”. Disini jelas yang dimaksud “orang yang
mendapat penderitaan fisik dan seterusnya” itu adalah korban dari pelanggaran
atau tindak pidana.
Selaras dengan
pendapat diatas adalah (Arif Gosita, 1989:75) menyatakan yang dimaksud dengan
korban adalah:
“mereka yang menderita
jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan
hak asasi yang menderita”. Ini menggunakan istilah penderitaan jasmaniah dan
rohaniah (fisik dan mental) dari korban dan juga bertentangan dengan hak asasi
manusia dari korban.
Selanjutnya secara yuridis pengertian korban termaktub
dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban,
yang dinyatakan bahwa korban adalah “seseorang yang mengalami penderitaan
fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak
pidana”. Melihat rumusan tersebut yang disebut korban adalah:
1. Setiap
orang,
2. Mengalami
penderitaan fisik, mental, dan/atau
3. Kerugian
ekonomi,
4. Akibat
tindak pidana.
Ternyata pengertian korban disesuaikan dengan masalah yang diatur dalam beberapa
perundang-undangan tersebut. Jadi tidak ada satu pengertian yang baku, namun
hakikatnya adalah sama, yaitu sebagai korban tindak pidana. Tentunya tergantung
sebagai korban tindak pidana apa, misalnya kekerasan dalam rumah tangga,
pelanggaran HAM yang berat dan sebagainya. Untuk pengertian umum dari korban
seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006.
Menurut Peraturan Pemerintah nomor 2 Tahun 2002 tentang tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi-saksi
dalam pelanggaran HAM yang berat, korban adalah:
“orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami
penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan
perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan
pihak mana pun”.
Sedangkan yang disebut korban menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah:
“orang yang mengalami kekerasan dan/atau
ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga”.
Kemudian menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi, yang dimaksud dengan korban adalah:
“orang perseorangan atau kelompok
orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental maupun
emosional, kerugian ekonomi atau mengalami pengabaian, pengurangan atau
perampasan hak-hak dasarnya sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang
berat termasuk korban atau ahli warisnya”.
Secara etiologis korban adalah merupakan orang yang mengalami kerugian baik
kerugian fisik, mental maupun kerugian finansial yang merupakan akibat dari
suatu tindak pidana (sebagai akibat) atau merupakan sebagai salah satu faktor
timbulnya tindak pidana (sebagai sebab). Korban diartikan sebagai seseorang
yang telah menderita kerugian sebagai akibat tindak pidana dan rasa keadilannya
secara langsung terganggu sebagai akibat pengalamannya sebagai target / sasaran
tindak pidana.
Korban (1) adalah orang yang mengalami
kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. (Pasal 1
Angka 3 UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga).
Korban (2) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan
baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami
pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat
langsung dari pelanggaran hak asasi manusia yang berat; termasuk korban adalah
juga ahli warisnya. (Pasal 1 Angka 5 UU Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi).
Korban (3)adalah seseorang yang mengalami
penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh
suatu tindak pidana. (Pasal 1 Angka 2 UU Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban).
Korban (4) adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik,
seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan
orang. (Pasal 1 Angka 3 UU Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang).
Nah, dari empat pengelompokan yang saya
simpulkan dari berbagai sumber salah satunya yaitu: www.hukum.kompasiana.com.
tema dari makalah ini termasuk dalam pengelompokan poin
ke 4 yaitu :
Korban
adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik,
seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan
orang. (Pasal 1 Angka 3 UU Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang).
Pengelompokan Korban
a.Tipilogi kejahatan
dimensinya dapat ditinjau dari dua perspektif, yaitu:
1). Nonparticipating victims adalah
mereka yang menyangkal/menolak kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut
berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan.
2). Latent or predisposed victims adalah
mereka yang mempunyai karakter tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran
tertentu.
3). Provocative victims adalah
mereka yang menimbulkan kejahatan atau pemicu kejahatan.
4). Particapcing victims adalah
mereka yang tidak menyadari atau memiliki perilaku lain sehingga memudahkan
dirinya menjadi korban.
5).False
victims adalah mereka yang menjadi korban karena
dirinya sendiri.
b. Ditinjau dari
perspektif tanggung jawab korban itu sendiri maka Stepen Schafer mengemukakan
tipilogi korban menjadi tujuh bentuk yaitu :
1). Unrelated victims adalah
mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku dan menjadi korban karena
memang potensial. Untuk itu, dari aspek tanggung jawab sepenuhnya berada di
pihak korban.
2). Proactive victims merupakan
korban yang disebabkan peranan korban untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena
itu, dari aspek tanggung jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara
bersama-sama.
3). Participacing
victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari
dapat mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di bank
dalam jumlah besar yan tanpa pengawalan, kemudian dibungkus dengan tas plastik
sehingga mendorong orang untuk merampasnya. Aspek ini pertanggungjawaban
sepenuhnya ada pada pelaku.
4). biologically
weak victim adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan
fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula)
merupakan potensial korban kejahatan. Ditinjau dari pertanggungjawabannya
terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat karena tidak dapat memberi
perlindunga kepada korban yang tidak berdaya.
5). Socially
weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh
masyarakat bersangkutan seperti gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah.
Untuk itu, pertanggungjawabannya secara penuh terletak pada penjahat atau
masyarakat.
6). Self
victimizing victims adalah koran kejahatan yang
dilakukan sendiri (korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Untuk itu
pertanggungjawabannya sepenuhnya terletak pada korban sekaligus sebagai pelaku
kejahatan.
7). Political
victims adalah korban karena lawan polotiknya. Secara
sosiologis, korban ini tidak dapat dipertnggungjawabkan kecuali adanya
perubahan konstelasi politik (Lilik Mulyadi,2003:123-125).
a. Selain
pengelompokan diatas, masih ada pengelompokan korban menurut Sellin dan
Wolfgang, yaitu sebagai berikut.
1) Primary
victimization, yaitu korban berupa individu perorangan
(bukan kelompok).
2) Secondary
victimization, yaitu korban kelompok, misalnya badan
hukum.
3) Tertiary
victimization, yaitu korban masyarakat luas.
4) No
victimiazation, yaitu korban yang tidak dapat
diketahui, misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan produksi.
Dari
pengelompokan diatas, dalam pembahasan makalah saya kali ini ialah: temasuk
dalam kelompok 4). biologically weak victim adalah
kejahatan disebabkan adanya keadaan fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan
manusia lanjut usia (manula) merupakan potensial korban kejahatan. Ditinjau
dari pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat
karena tidak dapat memberi perlindunga kepada korban yang tidak berdaya.
1.
Korban kejahatan
konvensional adalah korban yang diakibatkan oleh tindak pidana biasa atau
kejahatan biasa misalnya, pembunuhan, perkosaan, penganiayaan dan lain-lain;
1
Korban non-konvensional
adalah korban kejahatan yang diakibatkan oleh tindak pidana berat seperti
terorisme, pembajakan, perdagangan narkotika secara tidak sah, kejahatan
terorganisir dan kejahatan computer;
2
Korban kejahatan akibat
penyalahgunaan kekuasaan (Ilegal abuses of power) terhadap hak asasi manusia
alat penguasa termasuk penangkapan serta penahanan yang melanggar hukum dan
lain sebagainya.
A. Perlindungan
Korban
a.
Bentuk Perlindungan
Korban
Berdasarkan dari sumber yang saya
kelompokan mengatakan bahwa faktor penyebab terjadinya kejahatan perdagangan
anak perempuan dengan tujuan untuk dilacurkan meliputi kemiskinan, pencari
kerja, rendahnya tingkat pendidikan, broken home, sebelumnya pernah mengalami
kekerasan seksual. Upaya perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah bagi
para korban dilakukan dengan dua cara yaitu perlindungan yang diberikan bagi
calon korban kejahatan dan perlindungan setelah menjadi korban kejahatan.
Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHP merupakan perlindunganin abstracto atau
“perlindungan tidak langsung”, dikatakan demikian karena setiap tindakan yang
menimbulkan penderitaan fisik, mental, dan psikis bagi orang lain (warga
negara) akan diberikan sanksi yang tegas dengan harapan agar tidak ada orang
yang melanggar ketentuan yang tertuang dalamnya sehingga warga negara (calon
korban) dapat terlindungi. Kejahatan perdagangan anak diatur dalam Pasal 296
dan 297 KUHP namun pada perkembangannya dipakai pula UU Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, aturan tersebut merupakan suatu aturan khusus yang
digunakan untuk memberikan perlindungan bagi anak-anak Indonesia dan didalamnya
juga termuat ketentuan untuk melindungi korban kejahatan perdagangan anak
perempuan dengan tujuan untuk dilacurkan yang termuat dalam Pasal 88nya. Upaya
perlindungan hukum setelah menjadi korban kejahatan lebih cenderung untuk
memberikan ganti rugi yang sifatnya materiil sesuai dengan yang tertuang dalam
Pasal 14c KUHP, namun berdasarkan pasal tersebut ganti kerugian dapat diberikan
sebagai pengganti dari tidak dijalaninya pidana.
Ditemukannya lima belas
(15) korban perdagangan anak dengan tujuan untuk dilacurkan
di Surakarta maka hal ini membuktikan bahwa kejahatan tersebut telah
menyebar ke wilayah Surakarta. Para korban selama ini mendapatkan
upaya rehabilitasi dari Yayasan Kepedulian Untuk Konsumen Anak (Kakak). Upaya
rehabilitasi yang dilakukan oleh Kakak adalah dengan melakukan pendampingan
yang meliputi: pendampingan psikologi, pendampingan hukum, dan pendampingan
medis bagi para korban perdagangan anak dengan tujuan untuk dilacurkan.
a.
Hak Serta Kewajiban
Korban
Dapat dikatakan
perlindungan terhadap korban kejahatan merupakan salah satu wujud kewajiban
pemerintah kepada warganya. Beberapa negara juga telah memberikan perhatian hak
korban untuk memperoleh ganti kerugian/ kompensasi atas erugian fisik, psikhis
dan sosial yang dideritanya sebagia akibat kejahatan.
Pelayanan
kepada korban kejahatan pada hakekatnya merupakan suatu usaha kesejahteraaan sosial yang pelaksanaanya
harus sebanyak mungkin diikuti oleh setiap anggota masyarakat sesuai dengan
kemampuan masing-masing jadi tidak hanya menjadi kewajiban pemerintah atau
negara saja. Masyarakat harus turut serta bertanggungjawab secara moral untuk
bersama-sama melakukan pelayanan kepada korban kejahatan yang menderita. Korban
berada dalam keadaan tidak sejahtera dan kerapkali diperlakukan dengan tidak
adil. Semangat gotong royong dan ksediaan untuk berkorban di masyarakat kita
perlu dikembangkan dan diamalkan untuk menjadi faktor pendukung dilayaninya
para korban kejahatan. Terutama mengingat, banyak diantara para korban
kejahatan adalah dari golongan lemah mental, fisik, sosial ekonomi, dan
memerlukan ganti kerugian dengan segera.
Dan Kewajiban korban Sekalipun
hak-hak korban telah tersedia secara memadai, mulai dari hak atas bantuan
keuangan (financial) hingga hak atas pelayanan medis dan bantuan hukum, tidak
berarti kewajiban dari korban kejahatan diabaikan eksistensinya karena melalui
peran korban dan keluarganya diharapkan penaggulangan kejahatan dapat dicapai
secara signifikan.
Untuk itu ada beberapa kewajiban umum dari korban
kejahatan, antara lain :
1) Kewajiban untuk tidak melakukan upaya main hakim
sendiri/balas dendam terhadap pelaku (tindakan pembalasan);
2) Kewajiban untuk mengupayakan
pencegahan dari kemungkinan terulangnya tindak pidana;
3) Kewajiban untuk
memberikan informasi yang memadai mengenai terjadinya kejahatan kepada pihak
yang berwenang;
4) Kewajiban untuk tidak
mengajukan tuntutan yang terlalu berlebihan kepada pelaku;
5) Kewajiban untuk
menjadi saksi atas suatu kejahatan yang menimpa dirinya, sepanjang tidak
membahayakan bagi keluarga dan keluarganya
6) Kewajiban untuk
membantu berbagai pihak yang berkepentingan dalam uapaya pnanggulangan
kejahata;
7) Kewajiban untuk
bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi.
KESIMPULAN
Jadi yang dapat saya simpulkan
dari makalah ini ialah rendahnya tingkat ekonomi, pendidikan dan siituasi
psikologis adalah penyebab utama terjadinya perdagangan anak. Ada beberapa
solusi yang dapat dilakukan agar kasus perdagangan anak dapat berkurang.
kesadaran masyarakat melalui penyuluhan pemuka agama dan pemerintah. Apabila
kesadaran masyarakat akan bahaya dari perdangan anak sudah muncul, maka
diharapkan tingkat perdagangan manusia akan sedikit berkurang.
Kemudian memperluas tenaga kerja, focus pada
program usaha kecil menengah, serta pemberdaya perempuan. Apabila lapangan
kerja di Indonesia sudah cukup memenuhi kebutuhan masyarakat, maka keinginan
untuk berimigrasi dan bekerja di luar negeri akan berkurang dan resiko
perdagangan anak pun akan semakin berkurang juga.
pendidikan tersebut harus diberikan kepada kaum
kelas bawah, karena mereka rentan sekali menjadi korban praktik perdagangan
anak. Perdagangan anak seringkali terjadi pada masyarakat yang taraf
pendidikannya cukup rendah. Pendidikan harus diberikan dengan bahasa yang mudah
dimengerti oleh semua lapisan masyarakat.
Setelah masyarakat mengetahui masalah ini, saatnya
mereka memberitahu kepada orang lain yang belum tahu. Apabila informasi seperti
ini tidak disebarluaskan, maka rantai masalah ini tidak aka pernah terputus.
Sudah menjadi kewajiban masyarakat untuk menyampaikan apa yang terjadi pada
orang lain, terlebih lagi orang-orang yang dianggap berpotensi mengalami
tindakan perdagangan anak. Sebab, orang yang tidak mengetahui adanya
permasalahan ini tidak akan menyadari bahwa hal ini mungkin telah terjadi pada
orang lain di sekitar mereka.
Dan kita Berperan aktif dapat dilakukan dengan cara
melaporkan kasus perdagangan anak yang diketahui kepada pihak berwajib.
Masyarakat juga bisa mengarahkan keluarganya untuk lebih berhati-hati terhadap
orang lain, baik yang tidak dikenal maupun yang sudah dikenal. Mungkin hal yang
dilakukan hanyalah sesuatu yang kecil dan sederhana, namun apabila semua orang
bergerak untuk turut melakukannya, bukan tidak mungkin masalah ini akan
teratasi.
0 komentar:
Posting Komentar